Angin tak henti berputar ketika ia tengadah menatap langit. Seperti ada suara yang memanggil-manggil hingga ia menengadahkan wajahnya ke langit. Kenapakah ia..? mencari awankah ? Tak mungkin sebab gelap telah tiba. Mencari bintang atau bulankah…? entahlah. Hanya ia yang tau jawabannya.
“Lelaki yang berdiri di pintu surga…”
“Surga siapa…?”
“Surga yang mana..?”
Begitulah suara-suara yang berkelebatan di kepalanya.
Di dalam rumah, televisi masih menyala meski tak ada lagi yang menontonnya. Tentu sebab hanya ia penghuni rumah. Sedang ia telah meninggalkan televisi itu lalu berjalan ke halaman rumah menatap langit hitam.
Sebab kenapakah ia begitu..? Tak jelas. Tak ada penjelasan. Hanya, beberapa menit sebelumnya ia berada di depan televisi itu sembari menghabiskan secangkir kopinya. He, ternyata sebuah tayangan di televisi telah membuatnya pengap hingga ia melangkah ke halaman rumah lalu memandang langit hitam sambil ia berkata tak jelas,
“Lelaki di pintu surga…”
Angin menampar wajahnya dan membuat pipinya bergetar. Tamparan yang seolah mengingatkanya pada sebuah kejengahan. Ya, ia tengah merasa jengah. Taukah kau kenapa ia jengah ? Sebab televisi itu menayangkan berita tentang seorang laki-laki yang disebut sebagai Lelaki di pintu surga karena telah merawat ibunya yang sakit selama lebih dari 13 tahun.
Kenapakah ia jengah dengan julukan itu ? tak ada jawaban. Hanya, saat ia menyaksikan tayangan tersebut sesuatu di kepalanya seperti berteriak-teriak,
“Sompret, masa Laki-laki koruptor macam DW ini disebut lelaki dari surga hanya karena telah merawat ibunya yang sakit selama 13 tahun…”
Surga di bawah telapak kaki ibu. Seorang ibu adalah perempuan. Maka dalam waktu yang bersamaan sesuatu di kepalanya mengingatkannya pada kisah Pelacur Maria Magdalena yang disebut-sebut masuk surga karena telah memberi makan seekor anjing yang kelaparan.Entah kenapa.
Suara-suara lain mulai terdengar,
“Sudahlah….”
“Bukankah manusia sering berandai-andai tentang hidup. Tentang mati. Tentang surga. tentang Neraka…”
“Apa saja bisa dibuat manusia tanpa perlu dipertanyakan tujuannya, apalagi kebenarannya…”
“Biarkan saja. Toh bukan urusanmu..”
“Lepas dari benar tidaknya dia korupsi mungkin ia memang lelaki yang berdiri di pintu surga…”
“Hanya saja, mungkin kita yang tak paham dengan surga yang dimaksudkan mereka…”
“Lupakan saja…”
“Dengan kekayaan berlimpah yang konon mencapai 60 M itu, maka mudah menggapai pintu surga. Surga ada dimana-mana…”
“Orang baik. Orang setengah baik. Maling atau pencuri selalu ada dari masa ke masa…”
Rupanya suara si angin selatan yang tadi menampar wajahnya.
Suara itu kini menyadarkannya untuk melupakan berita tersebut. Untunglah saat ia masuk kembali ke dalam rumahnya televisi tak lagi menayangkan berita “Lelaki di pintu surga” itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar