Ecko Djoedewa Pengembara
Minggu, 17 Juni 2012
Selasa, 22 Mei 2012
DIABETES MILLITUS
Indonesia Empat Besar Jumlah Penderita Diabetes Dunia
MESKI tiap tahun seluruh dunia melakukan peringatan Hari Diabetes namun, penyakit diabetes melitus atau sakit gula ini masih menjadi persoalan bersama. Bahkan Indonesia masih berada di posisi keempat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar yang menderita penyakit diabetes setelah Amerika Serikat, China, dan India.
MESKI tiap tahun seluruh dunia melakukan peringatan Hari Diabetes namun, penyakit diabetes melitus atau sakit gula ini masih menjadi persoalan bersama. Bahkan Indonesia masih berada di posisi keempat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar yang menderita penyakit diabetes setelah Amerika Serikat, China, dan India.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, penyakit diabetes sakit gula adalah suatu kelainan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya kadar gula dalam darah melebihi batas normal.
“Penyakit ini terjadi akibat adanya gangguan pengeluaran insulin oleh pankreas dan atau gangguan kerja insulin atau kedua–duanya,” kata Tjandra, di Jakarta, Minggu, (13/11).
Ia memaparkan perkembangan kasus diabetes di Indonesia mengalami kenaikan jumlahnya. Berdasarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Demikian juga halnya dengan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) pada tahun 2009, memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta tahun 2030.
“Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Bahkan di dunia Indonesia menduduki rangking ke 4 (empat) dunia,” kata dia.
Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi diabetes sebesar 14,7 persen pada daerah urban dan 7,2 persen pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk di Indonesia yang berusia diatas 20 tahun dengan asumsi prevalensi diabetes pada daerah urban (14,7 persen) dan rural ( 7,2 persen) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.
Sumber: jurnas.com
Pada, 12 November 2011, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Kementerian Kesehatan RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE menyampaikan Plennary Lecture pada 20th Jakarta Diabetes Meeting (DM) yang dilakukan dalam rangka Hari Diabetes Sedunia tahun 2011.
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE dalam presentasinya menyampaikan beberapa hal, antara lain :
- Indonesia menduduki peringkat ke empat dalam kasus DM, di bawah Amerika Serikat dan di atas Jepang
- Sejumlah 14,7% penduduk daerah urban dan 7,2% daerah rural Indonesia diperkirakan mengidap DM
- Sebagai tindak lanjut nyata akan dilakukan :
. Pembetukan Team Ahli DM Kementerian Kesehatan
. Aturan tentang muatan gula di makanan cepat saji, juga bersama garam dan lemak
. Rapat bersama lintas sektor dan mitra untuk penyelesaian Rencana Aksi Nasional
. Terus mengaktifkan program pengendalian faktor risiko Penyakit Tidak Menular yang meliputi:
1. Kebiasaan merokok
2. Diet tidak sehat
3. Alkohol
4. Kurang Aktifitas Fisik
Penjelasan lebih lanjut tentang DM di Indonesia :
1. Sejauh mana perkembangan DM di Indonesia?
Badan Kesehatan Dunia memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Demikian juga halnya dengan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) pada tahun 2009, memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Di dunia Indonesia menduduki rangking ke 4 (empat) dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India dalam prevalensi diabetes (Diabetes Care, 2004)Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi diabetes sebesar 14,7 % pada daerah urban dan 7,2 % pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk di Indonesia yang berusia diatas 20 tahun dengan asumsi prevalensi diabetes pada daerah urban (14,7%) dan rural ( 7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Dari hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukan bahwa prevalensi diabetes mellitus di daerah urban Indonesia untuk usia 15 tahun sebesar 5,7% (1,5% terdiri dari pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya, sedangkan 4,2% baru diketahui diabetes saat penelitian). Sementara itu, menurut Propinsi diperoleh prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1%), diikuti Riau (10,4 %) dan NAD (8,5%). Prevalensi diabetes mellitus terendah di Papua (1,7%), diikuti NTT (1,8%). Prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu tertinggi di Papua Barat (21,8%), diikuti Sulbar (17,6%), dan Sulut (17,3%), sedangkan terendah di Jambi (4%), diikuti NTT (4,9%) Sementara itu angka kematian akibat DM terbanyak pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan sebesar 14,7%, sedangkan di daerah pedesaan sebesar 5,8%.
2. Bagaimana kelompok umur, terjadi pada anak-anak?
Saat ini, diabetes mellitus terjadi bukan hanya terjadi pada orang dewasa, namun juga terjadi pada bayi dan anak. Data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang merupakan penyandang diabetes tipe 1 di seluruh Indonesia. Data ini diperkirakan merupakan puncak gunung es sehingga jumlah penderita yang sesungguhnya di populasi tentu lebih banyak lagi yang masih belum terdeteksi. Bila jumlah anak (0 - 18 tahun sesuai UU perlindungan anak) di Indonesia ± 83 juta jiwa, maka kasus DM tipe 1 pada anak yang telah ditemukan hanya mencapai 0,00711 permil.
3. Faktor utama DM di Indonesia. Risiko penyakit ini bisa menyebabkan apa?
Faktor risiko diabetes terbagi atas faktor risiko tidak bisa diubah, bisa diubah dan faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes yaitu :
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
ϖRas dan etnik
ϖRiwayat keluarga dengan diabetes
ϖUmur
ϖRiwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
ϖRiwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi;
ϖBerat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
ϖKurangnya aktivitas fisik.
ϖHipertensi (> 140/90 mmHg).
ϖDislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
ϖDiet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
ϖPenderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
ϖPenderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).
Hasil Riskesdas tahun 2007 memperlihatkan prevalensi beberapa faktor risiko diabetes seperti obesitas umum 19,1% (terdiri dari berat badan berlebih dan obesitas 10,3%), obesitas sentral 18,8%, perokok 23,7 %, kurang makan buah dan sayur 93,6 %, sering makan/minum makanan/minuman manis 65,2%, kurang aktifitas fisik 48,2 %, sering makan makanan berlemak 12,8%, gangguan mental emosional 11,6% dan konsumsi alkohol pada 12 bulan terakhir sebesar 4,6 %.
Risiko penyakit ini bisa bersifat akut dan menahun. Fase awal menyebabkan Ketoasidosis diabetik (KAD), Hiperosmolar non ketotik (HNK) dan hipoglikemi. Fase kronis menyebabkan :
1. Makroangiopati
♣ Pembuluh darah jantung
♣ Pembuluh darah tepi : luka pada telapak kaki
♣ Pembuluh darah otak : stroke
2. Mikroangiopati:
♣ Retinopati diabetik (kebuataan)
♣ Nefropati diabetik (penyakit ginjal diabetes)
3. Neuropati Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.
4. Apakah ada regulasi soal kandungan gula pada makanan ringan/ snack di Indonesia? Regulasi kandungan gula pada makanan ringan/ snack di Indonesia telah diatur melalui Permenkes No. 208/ Menkes/ PER/ IV/ 1985 tentang Pemanis buatan dan Permenkes No. 722/ Menkes/ PER/IX/ 1988 tentang bahan tambahan makanan harus ditinjau ulang dan direvisi mengingat hanya 4 (empat) jenis pemanis buatan yaitu aspartaam, sakarin, siklamat dan sarbitol yang diatur dalam produk pangan yang ternyata sudah diperuntukkan bagi pelaku diet rendah kalori dan penderita DM.
Yang terpenting saat ini adalah bagaimana dapat melakukan implementasi regulasi yang sudah dilakukan secara optimal dengan dukungan berbagai pihak. Di sisi lain, aturan yang ada juga akan terus disempurnakan sepanjang diperlukan.
Demikian disampaikan oleh Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama dari Jakarta.
© Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL)
Jl. Percetakan Negara No. 29, Kotak Pos 223, Jakarta 10560 - Indonesia
Email : webmaster@pppl.depkes.go.id
Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: διαβαίνειν, diabaínein, tembus atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sebagai akibat dari:
defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya.[2]
defisiensi transporter glukosa.
atau keduanya.
Berbagai penyakit, sindrom dan simtoma dapat terpicu oleh diabetes mellitus, antara lain: Alzheimer, ataxia-telangiectasia, sindrom Down, penyakit Huntington, kelainan mitokondria, distrofi miotonis, penyakit Parkinson, sindrom Prader-Willi, sindrom Werner, sindrom Wolfram,[3] leukoaraiosis, demensia,[4] hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipogonadisme,[5] dan lain-lain.Daftar isi [sembunyikan]
1 Klasifikasi
1.1 Diabetes mellitus tipe 1
1.2 Diabetes mellitus tipe 2
1.3 Diabetes mellitus tipe 3
2 Patofisiologi
2.1 Komplikasi
2.1.1 Ketoasidosis diabetikum
2.1.2 Hipoglikemi
3 Diagnosis
3.1 Simtoma klinis
4 Penanganan
5 Lihat pula
6 Catatan dan referensi
7 Pranala luar
[sunting]
Klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus berdasarkan perawatan dan simtoma:[2]
Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.
Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai dengan sindrom resistansi insulin
Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT dan gestational diabetes mellitus, GDM.
dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:
Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari luar tubuh.
Not insulin requiring diabetes.
Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (bahasa Inggris: insulin-dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan anggota klasifikasi NIDDM (bahasa Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM dan NIDDM merupakan klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature of Diseases pada tahun 1991 dan revisi ke-10 International Classification of Diseases pada tahun 1992.
Klasifikasi Malnutrion-related diabetes mellitus, MRDM, tidak lagi digunakan oleh karena, walaupun malnutrisi dapat memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes, hingga saat ini belum ditemukan bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein dapat menyebabkan diabetes. Subtipe MRDM; Protein-deficient pancreatic diabetes mellitus, PDPDM, PDPD, PDDM, masih dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang diinduksi oleh diabetes mellitus dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Sedangkan subtipe lain, Fibrocalculous pancreatic diabetes, FCPD, diklasifikasikan sebagai penyakit pankreas eksokrin pada lintasan fibrocalculous pancreatopathy yang menginduksi diabetes mellitus.
Klasifikasi Impaired Glucose Tolerance, IGT, kini didefinisikan sebagai tahap dari cacat regulasi glukosa, sebagaimana dapat diamati pada seluruh tipe kelainan hiperglisemis. Namun tidak lagi dianggap sebagai diabetes.
Klasifikasi Impaired Fasting Glycaemia, IFG, diperkenalkan sebagai simtoma rasio gula darah puasa yang lebih tinggi dari batas atas rentang normalnya, tetapi masih di bawah rasio yang ditetapkan sebagai dasar diagnosa diabetes.
[sunting]
Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l).[rujukan?] Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events".[rujukan?] Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi.[rujukan?] Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis.[rujukan?] Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
[sunting]
Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen,[6] termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin[7] yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10[8] dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin[9] serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.[9] Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.[10]
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi,[11] rasio RBP4 dan hormon resistin yang tinggi,[9] peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati,[9] penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati.[12]
NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia[13], lipodistrofi,[9] dan sindrom resistansi insulin.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah.[rujukan?] Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan.[rujukan?] Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa.[rujukan?] Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis.[rujukan?] Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.[rujukan?]
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan [[ antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g., metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.
Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2.[14] Seperti zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi perkembangan sel tumor maupun kanker.[15][16]
Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria[17] pada otot lurik.[18][19] Sebaliknya, hormon tri-iodotironina menginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan sintesis ATP sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada kompleks IV, menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif,[20] sedang hormon melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta meningkatkan aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV.[21] Bersama dengan insulin, ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif mitokondria di dalam otot lurik.[22] Di sisi lain, metalotionein yang menghambat aktivitas GSK-3beta akan mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.[23][24][25]
Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat menentukan apakah metoda ini dapat memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan perubahan homeostasis glukosa.[26]
Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin, diketahui menyebabkan:[27]
peningkatan mRNA glukokinase,
peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan
peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom
peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin[28]
penurunan ekspresi GLUT2 pada hati
penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati
penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase
penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase
meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan glukoneogenesis
sedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di dalam hati.
Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada buah jenis jeruk, sedang naringin banyak ditemukan pada buah jenis anggur.
[sunting]
Diabetes mellitus tipe 3
Diabetes mellitus gestasional (bahasa Inggris: gestational diabetes, insulin-resistant type 1 diabetes, double diabetes, type 2 diabetes which has progressed to require injected insulin, latent autoimmune diabetes of adults, type 1.5" diabetes, type 3 diabetes, LADA) atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan patogenesisnya.[29] GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.[rujukan?]
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang buruk karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.
[sunting]
Patofisiologi
Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan yang sedang laik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut terkait oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.
Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.[30]
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot lurik. Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak dapat menurunkan resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.
Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak orang, tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu komplikasi pada toleransi glukosa.
Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia dan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis dan glikogenolisis. Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi, hiperkoagulasi, dapat meningkatkan risiko kardiovaskular.
Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-iodotironina dengan hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.
Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang disebabkan oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas, feokromositoma, glukagonoma dan somatostatinoma.
Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1. Sinergi hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-α, dijumpai membawa sinyal apoptosis bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo.[31] Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL,[32][33] dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas sel T CD8- dan CD4-.[33]
[sunting]
Komplikasi
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
[sunting]
Ketoasidosis diabetikum
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi ketoasidosis.[rujukan?] Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.[rujukan?]
[sunting]
Hipoglikemi
[sunting]
Diagnosis
Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).[34] Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu:
Plasma vena <110 110 - 199 >200
Darah kapiler <90 90 - 199 >200
Kadar glukosa darah puasa:
Plasma vena <110 110 - 125 >126
Darah kapiler <90 90 - 109 >110
[sunting]
Simtoma klinis
Simtoma hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
poliuria - sering buang air kecil
polidipsia - selalu merasa haus
polifagia - selalu merasa lapar
penurunan berat badan, seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1
dan setelah jangka panjang tanpa perawatan memadai, dapat memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,
gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
gangguan kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat diketahui dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron,[34]
gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot ulcer, amputasi, charcot joint dan disfungsi seksual,
dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan hiperosmolar non-ketotik yang dapat berakibat pada stupor dan koma.
rentan terhadap infeksi.
Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria, atau kencing manis, yang terjadi jika penderita tidak segera mendapatkan perawatan.
[sunting]
Penanganan
Pasien yang cukup terkendali dengan pengaturan makan saja tidak mengalami kesulitan kalau berpuasa. Pasien yang cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga tidak mengalami kesulitan untuk berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka puasa. Untuk yang terkendali dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dosis tinggi, obat diberikan dengan dosis sebelum berbuka lebih besar daripada dosis sahur. Untuk yang memakai insulin, dipakai insulin jangka menengah yang diberikan saat berbuka saja. Sedangkan pasien yang harus menggunakan insulin (DMTI) dosis ganda, dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.[34]
[sunting]
Lihat pula
Diabetes insipidus
Fosfatidil inositol-3 kinase
Atorvastatin
Lektin
Asam lipoat
[sunting]
Catatan dan referensi
^ IDF Chooses Blue Circle to Represent UN Resolution Campaign Unite for Diabetes, 17 March, 2006
^ a b World Health Organization Department of Noncommunicable Disease Surveillance (1999). "Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications" (PDF).
^ (Inggris)"Neurodegenerative disorders associated with diabetes mellitus". Department of Clinical Nutrition, German Institute for Human Nutrition; Ristow M.. Diakses pada 29 Juni 2010.
^ (Inggris)"(Pre)diabetes, brain aging, and cognition". Division of Geriatrics, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of São Paulo-RP; S Roriz-Filho J, Sá-Roriz TM, Rosset I, Camozzato AL, Santos AC, Chaves ML, Moriguti JC, Roriz-Cruz M.. Diakses pada 29 Juni 2010.
^ (Inggris)"[Endocrine abnormalities and vessels in patients with diabetes"]. II. interní klinika Lékarské fakulty UK a FN Hradec Králové; Cáp J.. Diakses pada 30 Juni 2010.
^ (Inggris)"Insulin Response to Glucose Is Lower in Individuals Homozygous for the Arg 64 Variant of the ß-3-Adrenergic Receptor". Johns Hopkins University School of Medicine, et al; Jeremy Walston, Kristi Silver, et al.. Diakses pada 1 Mei 2010.
^ (Inggris)"Clinical Characterization of Insulin Secretion as the Basis for Genetic Analyses". Michael Stumvoll, Andreas Fritsche dan Hans-Ulrich Häring. Diakses pada 1 Mei 2010.
^ (Inggris)"Sequence and functional analysis of GLUT10: a glucose transporter in the Type 2 diabetes-linked region of chromosome 20q12-13.1". Department of Internal Medicine, Wake Forest University School of Medicine; Dawson PA, Mychaleckyj JC, Fossey SC, Mihic SJ, Craddock AL, Bowden DW.. Diakses pada 5 Mei 2010.
^ a b c d e (Inggris)"Leptin". John W. Kimball Biology Page. Diakses pada 7 Mei 2010.
^ (Inggris)"The DNA sequence and biology of human chromosome 19.". Stanford Human Genome Center, Department of Genetics, Stanford University School of Medicine; Grimwood J, Gordon LA, Olsen A, Terry A, Schmutz J, Lamerdin J, Hellsten U, Goodstein D, Couronne O, Tran-Gyamfi M, Aerts A, Altherr M, Ashworth L, Bajorek E, Black S, Branscomb E, Caenepeel S, Carrano A, Caoile C, Chan YM, Christensen M, Cleland CA, Copeland A, Dalin E, Dehal P, Denys M, Detter JC, Escobar J, Flowers D, Fotopulos D, Garcia C, Georgescu AM, Glavina T, Gomez M, Gonzales E, Groza M, Hammon N, Hawkins T, Haydu L, Ho I, Huang W, Israni S, Jett J, Kadner K, Kimball H, Kobayashi A, Larionov V, Leem SH, Lopez F, Lou Y, Lowry S, Malfatti S, Martinez D, McCready P, Medina C, Morgan J, Nelson K, Nolan M, Ovcharenko I, Pitluck S, Pollard M, Popkie AP, Predki P, Quan G, Ramirez L, Rash S, Retterer J, Rodriguez A, Rogers S, Salamov A, Salazar A, She X, Smith D, Slezak T, Solovyev V, Thayer N, Tice H, Tsai M, Ustaszewska A, Vo N, Wagner M, Wheeler J, Wu K, Xie G, Yang J, Dubchak I, Furey TS, DeJong P, Dickson M, Gordon D, Eichler EE, Pennacchio LA, Richardson P, Stubbs L, Rokhsar DS, Myers RM, Rubin EM, Lucas SM.. Diakses pada 10 Mei 2010.
^ (Inggris)"SGLT1 is a novel cardiac glucose transporter that is perturbed in disease states.". Cardiovascular Institute, University of Pittsburgh; Banerjee SK, McGaffin KR, Pastor-Soler NM, Ahmad F.. Diakses pada 7 Mei 2010.
^ (Inggris)"Adipose tissue fatty acid metabolism in insulin-resistant men.". Oxford Centre for Diabetes, Endocrinology and Metabolism, University of Oxford; Bickerton AS, Roberts R, Fielding BA, Tornqvist H, Blaak EE, Wagenmakers AJ, Gilbert M, Humphreys SM, Karpe F, Frayn KN.. Diakses pada 8 Mei 2010.
^ (Inggris)"High-throughput screening for fatty acid uptake inhibitors in humanized yeast identifies atypical antipsychotic drugs that cause dyslipidemias". Center for Metabolic Disease, Ordway Research Institute, Inc., and Center for Cardiovascular Sciences, Albany Medical College; Hong Li, Paul N. Black, Aalap Chokshi, Angel Sandoval-Alvarez, Ravi Vatsyayan, Whitney Sealls dan Concetta C. DiRusso. Diakses pada 4 Mei 2010.
^ (Inggris)"Transport of the dipeptidyl peptidase-4 inhibitor sitagliptin by human organic anion transporter 3, organic anion transporting polypeptide 4C1, and multidrug resistance P-glycoprotein.". Department of Drug Metabolism, Merck & Co; Chu XY, Bleasby K, Yabut J, Cai X, Chan GH, Hafey MJ, Xu S, Bergman AJ, Braun MP, Dean DC, Evers R.. Diakses pada 8 Mei 2010.
^ (Inggris)"Dipeptidyl peptidase inhibits malignant phenotype of prostate cancer cells by blocking basic fibroblast growth factor signaling pathway.". Department of Microbiology and Molecular Genetics, Vermont Cancer Center, University of Vermont; Wesley UV, McGroarty M, Homoyouni A.. Diakses pada 8 Mei 2010.
^ (Inggris)"CD26/dipeptidyl peptidase IV and its role in cancer". Department of Lymphoma/Myeloma, Unit 429, M.D. Anderson Cancer Center; B. Pro dan N.H. Dang. Diakses pada 8 Mei 2010.
^ (Inggris)"Skeletal muscle mitochondrial protein metabolism and function in ageing and type 2 diabetes". Department of Clinical Morphological and Technological Sciences, Institute of Clinical Medicine, University of Trieste; Barazzoni R.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Links between thyroid hormone action, oxidative metabolism, and diabetes risk?". Research Division, Joslin Diabetes Center; Crunkhorn S, Patti ME.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Skeletal muscle mitochondrial dysfunction & diabetes". Endocrinology Division, Mayo Clinic; Sreekumar R, Nair KS.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Effect of thyroid hormone on mitochondrial properties and oxidative stress in cells from patients with mtDNA defects.". School of Kinesiology and Health Science; Menzies KJ, Robinson BH, Hood DA.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Melatonin protects the mitochondria from oxidative damage reducing oxygen consumption, membrane potential, and superoxide anion production". Centro de Investigación Biomédica, Parque Tecnológico de Ciencias de la Salud, Universidad de Granada; López A, García JA, Escames G, Venegas C, Ortiz F, López LC, Acuña-Castroviejo D.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Insulin regulation of mitochondrial proteins and oxidative phosphorylation in human muscle". Protein Energy Metabolism Unit, University of Auvergne/ Institut National de la Recherche Agronomique, Human Nutrition Research Center, Human Nutrition Laboratory; Boirie Y.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Metallothionein suppresses angiotensin II-induced nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase activation, nitrosative stress, apoptosis, and pathological remodeling in the diabetic heart". Department of Medicine, University of Louisville School of Medicine; Zhou G, Li X, Hein DW, Xiang X, Marshall JP, Prabhu SD, Cai L.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Inactivation of GSK-3beta by metallothionein prevents diabetes-related changes in cardiac energy metabolism, inflammation, nitrosative damage, and remodeling". Chinese-American Research Institute for Diabetic Complications, Wenzhou Medical College; Wang Y, Feng W, Xue W, Tan Y, Hein DW, Li XK, Cai L.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Thyroid hormone-regulated cardiac gene expression and cardiovascular disease". Division of Endocrinology and the Department of Medicine, North Shore University Hospital/NYU School of Medicine; Danzi S, Klein I.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Do Incretins play a role in the remission of type 2 diabetes after gastric bypass surgery: What are the evidence?". New York Obesity Research Center, St. Luke's Roosevelt Hospital Center, Columbia University College of Physicians and Surgeons; Bose M, Oliván B, Teixeira J, Pi-Sunyer FX, Laferrère B.. Diakses pada 7 Agustus 2010.
^ (Inggris)"Effect of citrus flavonoids on lipid metabolism and glucose-regulating enzyme mRNA levels in type-2 diabetic mice". Department of Food Science and Nutrition, Kyungpook National University; Jung UJ, Lee MK, Park YB, Kang MA, Choi MS.. Diakses pada 7 Agustus 2010.
^ (Inggris)"The hypoglycemic effects of hesperidin and naringin are partly mediated by hepatic glucose-regulating enzymes in C57BL/KsJ-db/db mice.". Department of Food Science and Nutrition, Kyungpook National University; Jung UJ, Lee MK, Jeong KS, Choi MS.. Diakses pada 7 Agustus 2010.
^ (Inggris)"[Association of serum interleukin-6 and high-sensitivity C-reactive protein levels with insulin resistance in gestational diabetes mellitus"]. Department of Endocrinology, Nangfang Hospital, Southern Medical University; Yu F, Xue YM, Li CZ, Shen J, Gao F, Yu YH, Fu XJ.. Diakses pada 28 Juli 2010.
^ (Inggris)"Secondary diabetes associated with principal endocrinopathies: the impact of new treatment modalities". Department of Endocrinology and Medical Sciences, Center of Excellence for Biomedical Research, University of Genoa; Resmini E, Minuto F, Colao A, Ferone D.. Diakses pada 29 Juni 2010.
^ (Inggris)"Cytokine synergism in apoptosis: its role in diabetes and cancer". Department of Medicine, Samsung Medical Center, Sungkyunkwan University School of Medicine and National Research Laboratory of Cell Death and Diabetes Research; Lee MS.. Diakses pada 30 Juni 2010.
^ (Inggris)"The role of Fas ligand in beta cell destruction in autoimmune diabetes of NOD mice". Autoimmunity Research Unit, Canberra Clinical School, University of Sydney; Petrovsky N, Silva D, Socha L, Slattery R, Charlton B.. Diakses pada 30 Juni 2010.
^ a b (Inggris)"Prevention of type 1 diabetes: from the view point of beta cell damage.". Department of Metabolism/Diabetes and Clinical Nutrition, Nagasaki University Hospital of Medicine and Dentistry; Kawasaki E, Abiru N, Eguchi K.. Diakses pada 30 Juni 2010.
^ a b c Tim FK UI, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Media Aesculapius, Jakarta: 1999. ISBN 979-95607-0-5
[sunting]
Pranala luar
(Inggris) World Health Organization fact sheet on diabetes
(Inggris) World Health Organization — The Diabetes Programme
(Inggris) International Diabetes Federation
(Inggris) The Immunology of Diabetes Society
(Inggris) Juvenile Diabetes Research Foundation
(Inggris) MedlinePlus Diabetes from the U.S. National Library of Medicine
(Inggris)
Diabetes pada Anak Belum Diwaspadai
Jakarta, Kompas - Penyakit diabetes melitus tak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Namun, diabetes pada anak belum diwaspadai sehingga penanganannya menjadi tidak maksimal.
”Masih banyak orangtua belum tahu tentang penyakit diabetes pada anak. Diabetes pada anak masih dianggap sepele,” kata Aditya Suryansyah, Ketua Unit Kelompok Kerja Endokrin Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Jumat (18/11), pada diskusi tentang diabetes dan hepatitis di Kantor Kementerian Kesehatan. Turut hadir dalam acara itu Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemkes Tjandra Yoga dan Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Kemkes Ali Sulaiman.
Data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak bulan Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan, di Indonesia terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang terkena diabetes melitus (DM) tipe 1. Jumlah penderita yang sesungguhnya diperkirakan jauh lebih tinggi karena banyak yang belum terdeteksi.
DM tipe 1 adalah penyakit diabetes yang disebabkan gangguan pada pankreas. Biasanya, penyebabnya adalah virus. Pada kondisi ini, penderita membutuhkan bantuan insulin. Adapun yang biasa diderita orang dewasa adalah DM tipe 2.
Tidak dijamin
Menurut Aditya, diabetes pada anak memunculkan dampak ekonomi cukup besar pada keluarga. ”Biaya rawat jalannya mencapai 1-2 juta per bulan. Jumlah itu sangat berat untuk keluarga menengah bawah,” kata Aditya. Kenyataannya, biaya pengobatan diabetes dan hepatitis belum masuk jaminan kesehatan masyarakat miskin.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia, penyandang DM di Indonesia pada 2003 sebanyak 13.797.470 orang dan pada 2030 diperkirakan naik jadi 21,3 juta orang. Jika perkiraan ini terwujud, Indonesia akan menduduki peringkat keempat dalam kasus DM setelah India, China, dan Amerika Serikat.
Diperkirakan, 14,7 persen penduduk perkotaan dan 7,2 persen penduduk desa mengidap DM. Pengendalian diabetes harus dilakukan secara komprehensif. Kemkes akan membuat aturan tentang kandungan gula, garam, dan lemak makanan cepat saji. Pemerintah juga akan mengatur kandungan bahan tambahan pangan pada makanan kemasan.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2011/11/19/07021445/Diabetes.pada.Anak.Belum.Diwaspadai
Diabetes pada Anak Belum Diwaspadai
Penyakit diabetes melitus tak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Namun, diabetes pada anak belum diwaspadai sehingga penanganannya menjadi tidak maksimal.
”Masih banyak orangtua belum tahu tentang penyakit diabetes pada anak. Diabetes pada anak masih dianggap sepele,” kata Aditya Suryansyah, Ketua Unit Kelompok Kerja Endokrin Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Jumat (18/11), pada diskusi tentang diabetes dan hepatitis di Kantor Kementerian Kesehatan. Turut hadir dalam acara itu Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemkes Tjandra Yoga dan Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Kemkes Ali Sulaiman.
Data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak bulan Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan, di Indonesia terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang terkena diabetes melitus (DM) tipe 1. Jumlah penderita yang sesungguhnya diperkirakan jauh lebih tinggi karena banyak yang belum terdeteksi.
DM tipe 1 adalah penyakit diabetes yang disebabkan gangguan pada pankreas. Biasanya, penyebabnya adalah virus. Pada kondisi ini, penderita membutuhkan bantuan insulin. Adapun yang biasa diderita orang dewasa adalah DM tipe 2.
Tidak dijamin
Menurut Aditya, diabetes dan hepatitis pada anak memunculkan dampak ekonomi cukup besar pada keluarga. ”Biaya rawat jalannya mencapai 1-2 juta per bulan. Jumlah itu sangat berat untuk keluarga menengah bawah,” kata Aditya. Kenyataannya, biaya pengobatan diabetes dan hepatitis belum masuk jaminan kesehatan masyarakat miskin.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia, penyandang DM di Indonesia pada 2003 sebanyak 13.797.470 orang dan pada 2030 diperkirakan naik jadi 21,3 juta orang. Jika perkiraan ini terwujud, Indonesia akan menduduki peringkat keempat dalam kasus DM setelah India, China, dan Amerika Serikat.
Diperkirakan, 14,7 persen penduduk perkotaan dan 7,2 persen penduduk desa mengidap DM.
Menurut Tjandra, pengendalian diabetes harus dilakukan secara komprehensif. Kemkes akan membuat aturan tentang kandungan gula, garam, dan lemak makanan cepat saji. Pemerintah juga akan mengatur kandungan bahan tambahan pangan pada makanan kemasan.
Pada forum diskusi itu juga dibahas tentang penyakit hepatitis A yang baru-baru ini merebak di Kota Depok, Jawa Barat. Karena banyaknya jumlah penderita, Pemerintah Kota Depok menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). (IND)
Sumber : Kompas.comVariations in Insulin Secretion in Carriers of Gene Variants in IRS-1 and -2
MESKI tiap tahun seluruh dunia melakukan peringatan Hari Diabetes namun, penyakit diabetes melitus atau sakit gula ini masih menjadi persoalan bersama. Bahkan Indonesia masih berada di posisi keempat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar yang menderita penyakit diabetes setelah Amerika Serikat, China, dan India.
MESKI tiap tahun seluruh dunia melakukan peringatan Hari Diabetes namun, penyakit diabetes melitus atau sakit gula ini masih menjadi persoalan bersama. Bahkan Indonesia masih berada di posisi keempat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar yang menderita penyakit diabetes setelah Amerika Serikat, China, dan India.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan RI, Tjandra Yoga Aditama mengatakan, penyakit diabetes sakit gula adalah suatu kelainan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya kadar gula dalam darah melebihi batas normal.
“Penyakit ini terjadi akibat adanya gangguan pengeluaran insulin oleh pankreas dan atau gangguan kerja insulin atau kedua–duanya,” kata Tjandra, di Jakarta, Minggu, (13/11).
Ia memaparkan perkembangan kasus diabetes di Indonesia mengalami kenaikan jumlahnya. Berdasarkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Demikian juga halnya dengan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) pada tahun 2009, memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta tahun 2030.
“Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Bahkan di dunia Indonesia menduduki rangking ke 4 (empat) dunia,” kata dia.
Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi diabetes sebesar 14,7 persen pada daerah urban dan 7,2 persen pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk di Indonesia yang berusia diatas 20 tahun dengan asumsi prevalensi diabetes pada daerah urban (14,7 persen) dan rural ( 7,2 persen) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural.
Sumber: jurnas.com
Pada, 12 November 2011, Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL), Kementerian Kesehatan RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE menyampaikan Plennary Lecture pada 20th Jakarta Diabetes Meeting (DM) yang dilakukan dalam rangka Hari Diabetes Sedunia tahun 2011.
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE dalam presentasinya menyampaikan beberapa hal, antara lain :
- Indonesia menduduki peringkat ke empat dalam kasus DM, di bawah Amerika Serikat dan di atas Jepang
- Sejumlah 14,7% penduduk daerah urban dan 7,2% daerah rural Indonesia diperkirakan mengidap DM
- Sebagai tindak lanjut nyata akan dilakukan :
. Pembetukan Team Ahli DM Kementerian Kesehatan
. Aturan tentang muatan gula di makanan cepat saji, juga bersama garam dan lemak
. Rapat bersama lintas sektor dan mitra untuk penyelesaian Rencana Aksi Nasional
. Terus mengaktifkan program pengendalian faktor risiko Penyakit Tidak Menular yang meliputi:
1. Kebiasaan merokok
2. Diet tidak sehat
3. Alkohol
4. Kurang Aktifitas Fisik
Penjelasan lebih lanjut tentang DM di Indonesia :
1. Sejauh mana perkembangan DM di Indonesia?
Badan Kesehatan Dunia memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Demikian juga halnya dengan Badan Federasi Diabetes Internasional (IDF) pada tahun 2009, memperkirakan kenaikan jumlah penyandang diabetes mellitus dari 7,0 juta tahun 2009 menjadi 12,0 juta tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Di dunia Indonesia menduduki rangking ke 4 (empat) dunia setelah Amerika Serikat, China, dan India dalam prevalensi diabetes (Diabetes Care, 2004)Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia Tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi diabetes sebesar 14,7 % pada daerah urban dan 7,2 % pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk di Indonesia yang berusia diatas 20 tahun dengan asumsi prevalensi diabetes pada daerah urban (14,7%) dan rural ( 7,2%) maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. Dari hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukan bahwa prevalensi diabetes mellitus di daerah urban Indonesia untuk usia 15 tahun sebesar 5,7% (1,5% terdiri dari pasien diabetes yang sudah terdiagnosis sebelumnya, sedangkan 4,2% baru diketahui diabetes saat penelitian). Sementara itu, menurut Propinsi diperoleh prevalensi diabetes mellitus tertinggi terdapat di Kalimantan Barat dan Maluku Utara (masing-masing 11,1%), diikuti Riau (10,4 %) dan NAD (8,5%). Prevalensi diabetes mellitus terendah di Papua (1,7%), diikuti NTT (1,8%). Prevalensi Toleransi Glukosa Terganggu tertinggi di Papua Barat (21,8%), diikuti Sulbar (17,6%), dan Sulut (17,3%), sedangkan terendah di Jambi (4%), diikuti NTT (4,9%) Sementara itu angka kematian akibat DM terbanyak pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan sebesar 14,7%, sedangkan di daerah pedesaan sebesar 5,8%.
2. Bagaimana kelompok umur, terjadi pada anak-anak?
Saat ini, diabetes mellitus terjadi bukan hanya terjadi pada orang dewasa, namun juga terjadi pada bayi dan anak. Data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang merupakan penyandang diabetes tipe 1 di seluruh Indonesia. Data ini diperkirakan merupakan puncak gunung es sehingga jumlah penderita yang sesungguhnya di populasi tentu lebih banyak lagi yang masih belum terdeteksi. Bila jumlah anak (0 - 18 tahun sesuai UU perlindungan anak) di Indonesia ± 83 juta jiwa, maka kasus DM tipe 1 pada anak yang telah ditemukan hanya mencapai 0,00711 permil.
3. Faktor utama DM di Indonesia. Risiko penyakit ini bisa menyebabkan apa?
Faktor risiko diabetes terbagi atas faktor risiko tidak bisa diubah, bisa diubah dan faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes yaitu :
Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi :
ϖRas dan etnik
ϖRiwayat keluarga dengan diabetes
ϖUmur
ϖRiwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG).
ϖRiwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg. Bayi yang lahir dengan BB rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan BB normal.
Faktor risiko yang bisa dimodifikasi;
ϖBerat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
ϖKurangnya aktivitas fisik.
ϖHipertensi (> 140/90 mmHg).
ϖDislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
ϖDiet tak sehat (unhealthy diet). Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes dan DM tipe 2.
Faktor lain yang terkait dengan risiko diabetes :
ϖPenderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin
ϖPenderita sindrom metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT) sebelumnya. Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases).
Hasil Riskesdas tahun 2007 memperlihatkan prevalensi beberapa faktor risiko diabetes seperti obesitas umum 19,1% (terdiri dari berat badan berlebih dan obesitas 10,3%), obesitas sentral 18,8%, perokok 23,7 %, kurang makan buah dan sayur 93,6 %, sering makan/minum makanan/minuman manis 65,2%, kurang aktifitas fisik 48,2 %, sering makan makanan berlemak 12,8%, gangguan mental emosional 11,6% dan konsumsi alkohol pada 12 bulan terakhir sebesar 4,6 %.
Risiko penyakit ini bisa bersifat akut dan menahun. Fase awal menyebabkan Ketoasidosis diabetik (KAD), Hiperosmolar non ketotik (HNK) dan hipoglikemi. Fase kronis menyebabkan :
1. Makroangiopati
♣ Pembuluh darah jantung
♣ Pembuluh darah tepi : luka pada telapak kaki
♣ Pembuluh darah otak : stroke
2. Mikroangiopati:
♣ Retinopati diabetik (kebuataan)
♣ Nefropati diabetik (penyakit ginjal diabetes)
3. Neuropati Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari.
4. Apakah ada regulasi soal kandungan gula pada makanan ringan/ snack di Indonesia? Regulasi kandungan gula pada makanan ringan/ snack di Indonesia telah diatur melalui Permenkes No. 208/ Menkes/ PER/ IV/ 1985 tentang Pemanis buatan dan Permenkes No. 722/ Menkes/ PER/IX/ 1988 tentang bahan tambahan makanan harus ditinjau ulang dan direvisi mengingat hanya 4 (empat) jenis pemanis buatan yaitu aspartaam, sakarin, siklamat dan sarbitol yang diatur dalam produk pangan yang ternyata sudah diperuntukkan bagi pelaku diet rendah kalori dan penderita DM.
Yang terpenting saat ini adalah bagaimana dapat melakukan implementasi regulasi yang sudah dilakukan secara optimal dengan dukungan berbagai pihak. Di sisi lain, aturan yang ada juga akan terus disempurnakan sepanjang diperlukan.
Demikian disampaikan oleh Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama dari Jakarta.
© Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL)
Jl. Percetakan Negara No. 29, Kotak Pos 223, Jakarta 10560 - Indonesia
Email : webmaster@pppl.depkes.go.id
Diabetes mellitus, DM (bahasa Yunani: διαβαίνειν, diabaínein, tembus atau pancuran air) (bahasa Latin: mellitus, rasa manis) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing gula adalah kelainan metabolis yang disebabkan oleh banyak faktor, dengan simtoma berupa hiperglisemia kronis dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, sebagai akibat dari:
defisiensi sekresi hormon insulin, aktivitas insulin, atau keduanya.[2]
defisiensi transporter glukosa.
atau keduanya.
Berbagai penyakit, sindrom dan simtoma dapat terpicu oleh diabetes mellitus, antara lain: Alzheimer, ataxia-telangiectasia, sindrom Down, penyakit Huntington, kelainan mitokondria, distrofi miotonis, penyakit Parkinson, sindrom Prader-Willi, sindrom Werner, sindrom Wolfram,[3] leukoaraiosis, demensia,[4] hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipogonadisme,[5] dan lain-lain.Daftar isi [sembunyikan]
1 Klasifikasi
1.1 Diabetes mellitus tipe 1
1.2 Diabetes mellitus tipe 2
1.3 Diabetes mellitus tipe 3
2 Patofisiologi
2.1 Komplikasi
2.1.1 Ketoasidosis diabetikum
2.1.2 Hipoglikemi
3 Diagnosis
3.1 Simtoma klinis
4 Penanganan
5 Lihat pula
6 Catatan dan referensi
7 Pranala luar
[sunting]
Klasifikasi
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan bentuk diabetes mellitus berdasarkan perawatan dan simtoma:[2]
Diabetes tipe 1, yang meliputi simtoma ketoasidosis hingga rusaknya sel beta di dalam pankreas yang disebabkan atau menyebabkan autoimunitas, dan bersifat idiopatik. Diabetes mellitus dengan patogenesis jelas, seperti fibrosis sistik atau defisiensi mitokondria, tidak termasuk pada penggolongan ini.
Diabetes tipe 2, yang diakibatkan oleh defisiensi sekresi insulin, seringkali disertai dengan sindrom resistansi insulin
Diabetes gestasional, yang meliputi gestational impaired glucose tolerance, GIGT dan gestational diabetes mellitus, GDM.
dan menurut tahap klinis tanpa pertimbangan patogenesis, dibuat menjadi:
Insulin requiring for survival diabetes, seperti pada kasus defisiensi peptida-C.
Insulin requiring for control diabetes. Pada tahap ini, sekresi insulin endogenus tidak cukup untuk mencapai gejala normoglicemia, jika tidak disertai dengan tambahan hormon dari luar tubuh.
Not insulin requiring diabetes.
Kelas empat pada tahap klinis serupa dengan klasifikasi IDDM (bahasa Inggris: insulin-dependent diabetes mellitus), sedang tahap kelima dan keenam merupakan anggota klasifikasi NIDDM (bahasa Inggris: non insulin-dependent diabetes mellitus). IDDM dan NIDDM merupakan klasifikasi yang tercantum pada International Nomenclature of Diseases pada tahun 1991 dan revisi ke-10 International Classification of Diseases pada tahun 1992.
Klasifikasi Malnutrion-related diabetes mellitus, MRDM, tidak lagi digunakan oleh karena, walaupun malnutrisi dapat memengaruhi ekspresi beberapa tipe diabetes, hingga saat ini belum ditemukan bukti bahwa malnutrisi atau defisiensi protein dapat menyebabkan diabetes. Subtipe MRDM; Protein-deficient pancreatic diabetes mellitus, PDPDM, PDPD, PDDM, masih dianggap sebagai bentuk malnutrisi yang diinduksi oleh diabetes mellitus dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Sedangkan subtipe lain, Fibrocalculous pancreatic diabetes, FCPD, diklasifikasikan sebagai penyakit pankreas eksokrin pada lintasan fibrocalculous pancreatopathy yang menginduksi diabetes mellitus.
Klasifikasi Impaired Glucose Tolerance, IGT, kini didefinisikan sebagai tahap dari cacat regulasi glukosa, sebagaimana dapat diamati pada seluruh tipe kelainan hiperglisemis. Namun tidak lagi dianggap sebagai diabetes.
Klasifikasi Impaired Fasting Glycaemia, IFG, diperkenalkan sebagai simtoma rasio gula darah puasa yang lebih tinggi dari batas atas rentang normalnya, tetapi masih di bawah rasio yang ditetapkan sebagai dasar diagnosa diabetes.
[sunting]
Diabetes mellitus tipe 1
Diabetes mellitus tipe 1, diabetes anak-anak (bahasa Inggris: childhood-onset diabetes, juvenile diabetes, insulin-dependent diabetes mellitus, IDDM) adalah diabetes yang terjadi karena berkurangnya rasio insulin dalam sirkulasi darah akibat hilangnya sel beta penghasil insulin pada pulau-pulau Langerhans pankreas. IDDM dapat diderita oleh anak-anak maupun orang dewasa.
Sampai saat ini IDDM tidak dapat dicegah dan tidak dapat disembuhkan, bahkan dengan diet maupun olah raga. Kebanyakan penderita diabetes tipe 1 memiliki kesehatan dan berat badan yang baik saat penyakit ini mulai dideritanya. Selain itu, sensitivitas maupun respons tubuh terhadap insulin umumnya normal pada penderita diabetes tipe ini, terutama pada tahap awal.
Penyebab terbanyak dari kehilangan sel beta pada diabetes tipe 1 adalah kesalahan reaksi autoimunitas yang menghancurkan sel beta pankreas. Reaksi autoimunitas tersebut dapat dipicu oleh adanya infeksi pada tubuh.
Saat ini, diabetes tipe 1 hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin, dengan pengawasan yang teliti terhadap tingkat glukosa darah melalui alat monitor pengujian darah. Pengobatan dasar diabetes tipe 1, bahkan untuk tahap paling awal sekalipun, adalah penggantian insulin. Tanpa insulin, ketosis dan diabetic ketoacidosis bisa menyebabkan koma bahkan bisa mengakibatkan kematian. Penekanan juga diberikan pada penyesuaian gaya hidup (diet dan olahraga). Terlepas dari pemberian injeksi pada umumnya, juga dimungkinkan pemberian insulin melalui pump, yang memungkinkan untuk pemberian masukan insulin 24 jam sehari pada tingkat dosis yang telah ditentukan, juga dimungkinkan pemberian dosis (a bolus) dari insulin yang dibutuhkan pada saat makan. Serta dimungkinkan juga untuk pemberian masukan insulin melalui "inhaled powder".
Perawatan diabetes tipe 1 harus berlanjut terus. Perawatan tidak akan memengaruhi aktivitas-aktivitas normal apabila kesadaran yang cukup, perawatan yang tepat, dan kedisiplinan dalam pemeriksaan dan pengobatan dijalankan. Tingkat Glukosa rata-rata untuk pasien diabetes tipe 1 harus sedekat mungkin ke angka normal (80-120 mg/dl, 4-6 mmol/l).[rujukan?] Beberapa dokter menyarankan sampai ke 140-150 mg/dl (7-7.5 mmol/l) untuk mereka yang bermasalah dengan angka yang lebih rendah, seperti "frequent hypoglycemic events".[rujukan?] Angka di atas 200 mg/dl (10 mmol/l) seringkali diikuti dengan rasa tidak nyaman dan buang air kecil yang terlalu sering sehingga menyebabkan dehidrasi.[rujukan?] Angka di atas 300 mg/dl (15 mmol/l) biasanya membutuhkan perawatan secepatnya dan dapat mengarah ke ketoasidosis.[rujukan?] Tingkat glukosa darah yang rendah, yang disebut hipoglisemia, dapat menyebabkan kehilangan kesadaran.
[sunting]
Diabetes mellitus tipe 2
Diabetes mellitus tipe 2 (bahasa Inggris: adult-onset diabetes, obesity-related diabetes, non-insulin-dependent diabetes mellitus, NIDDM) merupakan tipe diabetes mellitus yang terjadi bukan disebabkan oleh rasio insulin di dalam sirkulasi darah, melainkan merupakan kelainan metabolisme yang disebabkan oleh mutasi pada banyak gen,[6] termasuk yang mengekspresikan disfungsi sel β, gangguan sekresi hormon insulin, resistansi sel terhadap insulin[7] yang disebabkan oleh disfungsi GLUT10[8] dengan kofaktor hormon resistin yang menyebabkan sel jaringan, terutama pada hati menjadi kurang peka terhadap insulin[9] serta RBP4 yang menekan penyerapan glukosa oleh otot lurik namun meningkatkan sekresi gula darah oleh hati.[9] Mutasi gen tersebut sering terjadi pada kromosom 19 yang merupakan kromosom terpadat yang ditemukan pada manusia.[10]
Pada NIDDM ditemukan ekspresi SGLT1 yang tinggi,[11] rasio RBP4 dan hormon resistin yang tinggi,[9] peningkatan laju metabolisme glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati,[9] penurunan laju reaksi oksidasi dan peningkatan laju reaksi esterifikasi pada hati.[12]
NIDDM juga dapat disebabkan oleh dislipidemia[13], lipodistrofi,[9] dan sindrom resistansi insulin.
Pada tahap awal kelainan yang muncul adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin, yang ditandai dengan meningkatnya kadar insulin di dalam darah.[rujukan?] Hiperglisemia dapat diatasi dengan obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau mengurangi produksi glukosa dari hepar, namun semakin parah penyakit, sekresi insulin pun semakin berkurang, dan terapi dengan insulin kadang dibutuhkan.[rujukan?] Ada beberapa teori yang menyebutkan penyebab pasti dan mekanisme terjadinya resistensi ini, namun obesitas sentral diketahui sebagai faktor predisposisi terjadinya resistensi terhadap insulin, dalam kaitan dengan pengeluaran dari adipokines ( nya suatu kelompok hormon) itu merusak toleransi glukosa.[rujukan?] Obesitas ditemukan di kira-kira 90% dari pasien dunia dikembangkan diagnosis dengan jenis 2 kencing manis.[rujukan?] Faktor lain meliputi mengeram dan sejarah keluarga, walaupun di dekade yang terakhir telah terus meningkat mulai untuk memengaruhi anak remaja dan anak-anak.[rujukan?]
Diabetes tipe 2 dapat terjadi tanpa ada gejala sebelum hasil diagnosis. Diabetes tipe 2 biasanya, awalnya, diobati dengan cara perubahan aktivitas fisik (olahraga), diet (umumnya pengurangan asupan karbohidrat), dan lewat pengurangan berat badan. Ini dapat memugar kembali kepekaan hormon insulin, bahkan ketika kerugian berat/beban adalah rendah hati,, sebagai contoh, di sekitar 5 kg ( 10 sampai 15 lb), paling terutama ketika itu ada di deposito abdominal yang gemuk. Langkah yang berikutnya, jika perlu,, perawatan dengan lisan [[ antidiabetic drugs. [Sebagai/Ketika/Sebab] produksi hormon insulin adalah pengobatan pada awalnya tak terhalang, lisan ( sering yang digunakan di kombinasi) kaleng tetap digunakan untuk meningkatkan produksi hormon insulin ( e.g., sulfonylureas) dan mengatur pelepasan/release yang tidak sesuai tentang glukosa oleh hati ( dan menipis pembalasan hormon insulin sampai taraf tertentu ( e.g., metformin), dan pada hakekatnya menipis pembalasan hormon insulin ( e.g., thiazolidinediones). Jika ini gagal, ilmu pengobatan hormon insulin akan jadilah diperlukan untuk memelihara normal atau dekat tingkatan glukosa yang normal. Suatu cara hidup yang tertib tentang cek glukosa darah direkomendasikan dalam banyak kasus, paling terutama sekali dan perlu ketika mengambil kebanyakan pengobatan.
Sebuah zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang disebut sitagliptin, baru-baru ini diperkenankan untuk digunakan sebagai pengobatan diabetes mellitus tipe 2.[14] Seperti zat penghambat dipeptidyl peptidase 4 yang lain, sitagliptin akan membuka peluang bagi perkembangan sel tumor maupun kanker.[15][16]
Sebuah fenotipe sangat khas ditunjukkan oleh NIDDM pada manusia adalah defisiensi metabolisme oksidatif di dalam mitokondria[17] pada otot lurik.[18][19] Sebaliknya, hormon tri-iodotironina menginduksi biogenesis di dalam mitokondria dan meningkatkan sintesis ATP sintase pada kompleks V, meningkatkan aktivitas sitokrom c oksidase pada kompleks IV, menurunkan spesi oksigen reaktif, menurunkan stres oksidatif,[20] sedang hormon melatonin akan meningkatkan produksi ATP di dalam mitokondria serta meningkatkan aktivitas respiratory chain, terutama pada kompleks I, III dan IV.[21] Bersama dengan insulin, ketiga hormon ini membentuk siklus yang mengatur fosforilasi oksidatif mitokondria di dalam otot lurik.[22] Di sisi lain, metalotionein yang menghambat aktivitas GSK-3beta akan mengurangi risiko defisiensi otot jantung pada penderita diabetes.[23][24][25]
Simtoma yang terjadi pada NIDDM dapat berkurang dengan dramatis, diikuti dengan pengurangan berat tubuh, setelah dilakukan bedah bypass usus. Hal ini diketahui sebagai akibat dari peningkatan sekresi hormon inkretin, namun para ahli belum dapat menentukan apakah metoda ini dapat memberikan kesembuhan bagi NIDDM dengan perubahan homeostasis glukosa.[26]
Pada terapi tradisional, flavonoid yang mengandung senyawa hesperidin dan naringin, diketahui menyebabkan:[27]
peningkatan mRNA glukokinase,
peningkatan ekspresi GLUT4 pada hati dan jaringan
peningkatan pencerap gamma proliferator peroksisom
peningkatan rasio plasma hormon insulin, protein C dan leptin[28]
penurunan ekspresi GLUT2 pada hati
penurunan rasio plasma asam lemak dan kadar trigliserida pada hati
penurunan rasio plasma dan kadar kolesterol dalam hati, antara lain dengan menekan 3-hydroxy-3-methylglutaryl-coenzyme reductase, asil-KoA, kolesterol asiltransferase
penurunan oksidasi asam lemak di dalam hati dan aktivitas karnitina palmitoil, antara lain dengan mengurangi sintesis glukosa-6 fosfatase dehidrogenase dan fosfatidat fosfohidrolase
meningkatkan laju lintasan glikolisis dan/atau menurunkan laju lintasan glukoneogenesis
sedang naringin sendiri, menurunkan transkripsi mRNA fosfoenolpiruvat karboksikinase dan glukosa-6 fosfatase di dalam hati.
Hesperidin merupakan senyawa organik yang banyak ditemukan pada buah jenis jeruk, sedang naringin banyak ditemukan pada buah jenis anggur.
[sunting]
Diabetes mellitus tipe 3
Diabetes mellitus gestasional (bahasa Inggris: gestational diabetes, insulin-resistant type 1 diabetes, double diabetes, type 2 diabetes which has progressed to require injected insulin, latent autoimmune diabetes of adults, type 1.5" diabetes, type 3 diabetes, LADA) atau diabetes melitus yang terjadi hanya selama kehamilan dan pulih setelah melahirkan, dengan keterlibatan interleukin-6 dan protein reaktif C pada lintasan patogenesisnya.[29] GDM mungkin dapat merusak kesehatan janin atau ibu, dan sekitar 20–50% dari wanita penderita GDM bertahan hidup.[rujukan?]
Diabetes melitus pada kehamilan terjadi di sekitar 2–5% dari semua kehamilan. GDM bersifat temporer dan dapat meningkat maupun menghilang setelah melahirkan. GDM dapat disembuhkan, namun memerlukan pengawasan medis yang cermat selama masa kehamilan.
Meskipun GDM bersifat sementara, bila tidak ditangani dengan baik dapat membahayakan kesehatan janin maupun sang ibu. Resiko yang dapat dialami oleh bayi meliputi makrosomia (berat bayi yang tinggi/diatas normal), penyakit jantung bawaan dan kelainan sistem saraf pusat, dan cacat otot rangka. Peningkatan hormon insulin janin dapat menghambat produksi surfaktan janin dan mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan. Hyperbilirubinemia dapat terjadi akibat kerusakan sel darah merah. Pada kasus yang parah, kematian sebelum kelahiran dapat terjadi, paling umum terjadi sebagai akibat dari perfusi plasenta yang buruk karena kerusakan vaskular. Induksi kehamilan dapat diindikasikan dengan menurunnya fungsi plasenta. Operasi sesar dapat akan dilakukan bila ada tanda bahwa janin dalam bahaya atau peningkatan resiko luka yang berhubungan dengan makrosomia, seperti distosia bahu.
[sunting]
Patofisiologi
Kemungkinan induksi diabetes tipe 2 dari berbagai macam kelainan hormonal, seperti hormon sekresi kelenjar adrenal, hipofisis dan tiroid merupakan studi pengamatan yang sedang laik daun saat ini. Sebagai contoh, timbulnya IGT dan diabetes mellitus sering disebut terkait oleh akromegali dan hiperkortisolisme atau sindrom Cushing.
Hipersekresi hormon GH pada akromegali dan sindrom Cushing sering berakibat pada resistansi insulin, baik pada hati dan organ lain, dengan simtoma hiperinsulinemia dan hiperglisemia, yang berdampak pada penyakit kardiovaskular dan berakibat kematian.[30]
GH memang memiliki peran penting dalam metabolisme glukosa dengan menstimulasi glukogenesis dan lipolisis, dan meningkatkan kadar glukosa darah dan asam lemak. Sebaliknya, insulin-like growth factor 1 (IGF-I) meningkatkan kepekaan terhadap insulin, terutama pada otot lurik. Walaupun demikian, pada akromegali, peningkatan rasio IGF-I tidak dapat menurunkan resistansi insulin, oleh karena berlebihnya GH.
Terapi dengan somatostatin dapat meredam kelebihan GH pada sebagian banyak orang, tetapi karena juga menghambat sekresi insulin dari pankreas, terapi ini akan memicu komplikasi pada toleransi glukosa.
Sedangkan hipersekresi hormon kortisol pada hiperkortisolisme yang menjadi penyebab obesitas viseral, resistansi insulin, dan dislipidemia, mengarah pada hiperglisemia dan turunnya toleransi glukosa, terjadinya resistansi insulin, stimulasi glukoneogenesis dan glikogenolisis. Saat bersinergis dengan kofaktor hipertensi, hiperkoagulasi, dapat meningkatkan risiko kardiovaskular.
Hipersekresi hormon juga terjadi pada kelenjar tiroid berupa tri-iodotironina dengan hipertiroidisme yang menyebabkan abnormalnya toleransi glukosa.
Pada penderita tumor neuroendokrin, terjadi perubahan toleransi glukosa yang disebabkan oleh hiposekresi insulin, seperti yang terjadi pada pasien bedah pankreas, feokromositoma, glukagonoma dan somatostatinoma.
Hipersekresi hormon ditengarai juga menginduksi diabetes tipe lain, yaitu tipe 1. Sinergi hormon berbentuk sitokina, interferon-gamma dan TNF-α, dijumpai membawa sinyal apoptosis bagi sel beta, baik in vitro maupun in vivo.[31] Apoptosis sel beta juga terjadi akibat mekanisme Fas-FasL,[32][33] dan/atau hipersekresi molekul sitotoksik, seperti granzim dan perforin; selain hiperaktivitas sel T CD8- dan CD4-.[33]
[sunting]
Komplikasi
Komplikasi jangka lama termasuk penyakit kardiovaskular (risiko ganda), kegagalan kronis ginjal (penyebab utama dialisis), kerusakan retina yang dapat menyebabkan kebutaan, serta kerusakan saraf yang dapat menyebabkan impotensi dan gangren dengan risiko amputasi. Komplikasi yang lebih serius lebih umum bila kontrol kadar gula darah buruk.
[sunting]
Ketoasidosis diabetikum
Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan ketoasidosis diabetikum. Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi asam (ketoasidosis). Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan sering kencing, mual, muntah, lelah dan nyeri perut (terutama pada anak-anak). Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton. Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma, kadang dalam waktu hanya beberapa jam. Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakaan atau penyakit yang serius. Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala selama beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering kencing dan haus. Jarang terjadi ketoasidosis.[rujukan?] Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya infeksi atau obat-obatan), maka penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.[rujukan?]
[sunting]
Hipoglikemi
[sunting]
Diagnosis
Tabel: Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl).[34] Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu:
Plasma vena <110 110 - 199 >200
Darah kapiler <90 90 - 199 >200
Kadar glukosa darah puasa:
Plasma vena <110 110 - 125 >126
Darah kapiler <90 90 - 109 >110
[sunting]
Simtoma klinis
Simtoma hiperglisemia lebih lanjut menginduksi tiga gejala klasik lainnya:
poliuria - sering buang air kecil
polidipsia - selalu merasa haus
polifagia - selalu merasa lapar
penurunan berat badan, seringkali hanya pada diabetes mellitus tipe 1
dan setelah jangka panjang tanpa perawatan memadai, dapat memicu berbagai komplikasi kronis, seperti:
gangguan pada mata dengan potensi berakibat pada kebutaan,
gangguan pada ginjal hingga berakibat pada gagal ginjal
gangguan kardiovaskular, disertai lesi membran basalis yang dapat diketahui dengan pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron,[34]
gangguan pada sistem saraf hingga disfungsi saraf autonom, foot ulcer, amputasi, charcot joint dan disfungsi seksual,
dan gejala lain seperti dehidrasi, ketoasidosis, ketonuria dan hiperosmolar non-ketotik yang dapat berakibat pada stupor dan koma.
rentan terhadap infeksi.
Kata diabetes mellitus itu sendiri mengacu pada simtoma yang disebut glikosuria, atau kencing manis, yang terjadi jika penderita tidak segera mendapatkan perawatan.
[sunting]
Penanganan
Pasien yang cukup terkendali dengan pengaturan makan saja tidak mengalami kesulitan kalau berpuasa. Pasien yang cukup terkendali dengan obat dosis tunggal juga tidak mengalami kesulitan untuk berpuasa. Obat diberikan pada saat berbuka puasa. Untuk yang terkendali dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dosis tinggi, obat diberikan dengan dosis sebelum berbuka lebih besar daripada dosis sahur. Untuk yang memakai insulin, dipakai insulin jangka menengah yang diberikan saat berbuka saja. Sedangkan pasien yang harus menggunakan insulin (DMTI) dosis ganda, dianjurkan untuk tidak berpuasa dalam bulan Ramadhan.[34]
[sunting]
Lihat pula
Diabetes insipidus
Fosfatidil inositol-3 kinase
Atorvastatin
Lektin
Asam lipoat
[sunting]
Catatan dan referensi
^ IDF Chooses Blue Circle to Represent UN Resolution Campaign Unite for Diabetes, 17 March, 2006
^ a b World Health Organization Department of Noncommunicable Disease Surveillance (1999). "Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications" (PDF).
^ (Inggris)"Neurodegenerative disorders associated with diabetes mellitus". Department of Clinical Nutrition, German Institute for Human Nutrition; Ristow M.. Diakses pada 29 Juni 2010.
^ (Inggris)"(Pre)diabetes, brain aging, and cognition". Division of Geriatrics, Department of Internal Medicine, Faculty of Medicine, University of São Paulo-RP; S Roriz-Filho J, Sá-Roriz TM, Rosset I, Camozzato AL, Santos AC, Chaves ML, Moriguti JC, Roriz-Cruz M.. Diakses pada 29 Juni 2010.
^ (Inggris)"[Endocrine abnormalities and vessels in patients with diabetes"]. II. interní klinika Lékarské fakulty UK a FN Hradec Králové; Cáp J.. Diakses pada 30 Juni 2010.
^ (Inggris)"Insulin Response to Glucose Is Lower in Individuals Homozygous for the Arg 64 Variant of the ß-3-Adrenergic Receptor". Johns Hopkins University School of Medicine, et al; Jeremy Walston, Kristi Silver, et al.. Diakses pada 1 Mei 2010.
^ (Inggris)"Clinical Characterization of Insulin Secretion as the Basis for Genetic Analyses". Michael Stumvoll, Andreas Fritsche dan Hans-Ulrich Häring. Diakses pada 1 Mei 2010.
^ (Inggris)"Sequence and functional analysis of GLUT10: a glucose transporter in the Type 2 diabetes-linked region of chromosome 20q12-13.1". Department of Internal Medicine, Wake Forest University School of Medicine; Dawson PA, Mychaleckyj JC, Fossey SC, Mihic SJ, Craddock AL, Bowden DW.. Diakses pada 5 Mei 2010.
^ a b c d e (Inggris)"Leptin". John W. Kimball Biology Page. Diakses pada 7 Mei 2010.
^ (Inggris)"The DNA sequence and biology of human chromosome 19.". Stanford Human Genome Center, Department of Genetics, Stanford University School of Medicine; Grimwood J, Gordon LA, Olsen A, Terry A, Schmutz J, Lamerdin J, Hellsten U, Goodstein D, Couronne O, Tran-Gyamfi M, Aerts A, Altherr M, Ashworth L, Bajorek E, Black S, Branscomb E, Caenepeel S, Carrano A, Caoile C, Chan YM, Christensen M, Cleland CA, Copeland A, Dalin E, Dehal P, Denys M, Detter JC, Escobar J, Flowers D, Fotopulos D, Garcia C, Georgescu AM, Glavina T, Gomez M, Gonzales E, Groza M, Hammon N, Hawkins T, Haydu L, Ho I, Huang W, Israni S, Jett J, Kadner K, Kimball H, Kobayashi A, Larionov V, Leem SH, Lopez F, Lou Y, Lowry S, Malfatti S, Martinez D, McCready P, Medina C, Morgan J, Nelson K, Nolan M, Ovcharenko I, Pitluck S, Pollard M, Popkie AP, Predki P, Quan G, Ramirez L, Rash S, Retterer J, Rodriguez A, Rogers S, Salamov A, Salazar A, She X, Smith D, Slezak T, Solovyev V, Thayer N, Tice H, Tsai M, Ustaszewska A, Vo N, Wagner M, Wheeler J, Wu K, Xie G, Yang J, Dubchak I, Furey TS, DeJong P, Dickson M, Gordon D, Eichler EE, Pennacchio LA, Richardson P, Stubbs L, Rokhsar DS, Myers RM, Rubin EM, Lucas SM.. Diakses pada 10 Mei 2010.
^ (Inggris)"SGLT1 is a novel cardiac glucose transporter that is perturbed in disease states.". Cardiovascular Institute, University of Pittsburgh; Banerjee SK, McGaffin KR, Pastor-Soler NM, Ahmad F.. Diakses pada 7 Mei 2010.
^ (Inggris)"Adipose tissue fatty acid metabolism in insulin-resistant men.". Oxford Centre for Diabetes, Endocrinology and Metabolism, University of Oxford; Bickerton AS, Roberts R, Fielding BA, Tornqvist H, Blaak EE, Wagenmakers AJ, Gilbert M, Humphreys SM, Karpe F, Frayn KN.. Diakses pada 8 Mei 2010.
^ (Inggris)"High-throughput screening for fatty acid uptake inhibitors in humanized yeast identifies atypical antipsychotic drugs that cause dyslipidemias". Center for Metabolic Disease, Ordway Research Institute, Inc., and Center for Cardiovascular Sciences, Albany Medical College; Hong Li, Paul N. Black, Aalap Chokshi, Angel Sandoval-Alvarez, Ravi Vatsyayan, Whitney Sealls dan Concetta C. DiRusso. Diakses pada 4 Mei 2010.
^ (Inggris)"Transport of the dipeptidyl peptidase-4 inhibitor sitagliptin by human organic anion transporter 3, organic anion transporting polypeptide 4C1, and multidrug resistance P-glycoprotein.". Department of Drug Metabolism, Merck & Co; Chu XY, Bleasby K, Yabut J, Cai X, Chan GH, Hafey MJ, Xu S, Bergman AJ, Braun MP, Dean DC, Evers R.. Diakses pada 8 Mei 2010.
^ (Inggris)"Dipeptidyl peptidase inhibits malignant phenotype of prostate cancer cells by blocking basic fibroblast growth factor signaling pathway.". Department of Microbiology and Molecular Genetics, Vermont Cancer Center, University of Vermont; Wesley UV, McGroarty M, Homoyouni A.. Diakses pada 8 Mei 2010.
^ (Inggris)"CD26/dipeptidyl peptidase IV and its role in cancer". Department of Lymphoma/Myeloma, Unit 429, M.D. Anderson Cancer Center; B. Pro dan N.H. Dang. Diakses pada 8 Mei 2010.
^ (Inggris)"Skeletal muscle mitochondrial protein metabolism and function in ageing and type 2 diabetes". Department of Clinical Morphological and Technological Sciences, Institute of Clinical Medicine, University of Trieste; Barazzoni R.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Links between thyroid hormone action, oxidative metabolism, and diabetes risk?". Research Division, Joslin Diabetes Center; Crunkhorn S, Patti ME.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Skeletal muscle mitochondrial dysfunction & diabetes". Endocrinology Division, Mayo Clinic; Sreekumar R, Nair KS.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Effect of thyroid hormone on mitochondrial properties and oxidative stress in cells from patients with mtDNA defects.". School of Kinesiology and Health Science; Menzies KJ, Robinson BH, Hood DA.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Melatonin protects the mitochondria from oxidative damage reducing oxygen consumption, membrane potential, and superoxide anion production". Centro de Investigación Biomédica, Parque Tecnológico de Ciencias de la Salud, Universidad de Granada; López A, García JA, Escames G, Venegas C, Ortiz F, López LC, Acuña-Castroviejo D.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Insulin regulation of mitochondrial proteins and oxidative phosphorylation in human muscle". Protein Energy Metabolism Unit, University of Auvergne/ Institut National de la Recherche Agronomique, Human Nutrition Research Center, Human Nutrition Laboratory; Boirie Y.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Metallothionein suppresses angiotensin II-induced nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase activation, nitrosative stress, apoptosis, and pathological remodeling in the diabetic heart". Department of Medicine, University of Louisville School of Medicine; Zhou G, Li X, Hein DW, Xiang X, Marshall JP, Prabhu SD, Cai L.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Inactivation of GSK-3beta by metallothionein prevents diabetes-related changes in cardiac energy metabolism, inflammation, nitrosative damage, and remodeling". Chinese-American Research Institute for Diabetic Complications, Wenzhou Medical College; Wang Y, Feng W, Xue W, Tan Y, Hein DW, Li XK, Cai L.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Thyroid hormone-regulated cardiac gene expression and cardiovascular disease". Division of Endocrinology and the Department of Medicine, North Shore University Hospital/NYU School of Medicine; Danzi S, Klein I.. Diakses pada 22 Juli 2010.
^ (Inggris)"Do Incretins play a role in the remission of type 2 diabetes after gastric bypass surgery: What are the evidence?". New York Obesity Research Center, St. Luke's Roosevelt Hospital Center, Columbia University College of Physicians and Surgeons; Bose M, Oliván B, Teixeira J, Pi-Sunyer FX, Laferrère B.. Diakses pada 7 Agustus 2010.
^ (Inggris)"Effect of citrus flavonoids on lipid metabolism and glucose-regulating enzyme mRNA levels in type-2 diabetic mice". Department of Food Science and Nutrition, Kyungpook National University; Jung UJ, Lee MK, Park YB, Kang MA, Choi MS.. Diakses pada 7 Agustus 2010.
^ (Inggris)"The hypoglycemic effects of hesperidin and naringin are partly mediated by hepatic glucose-regulating enzymes in C57BL/KsJ-db/db mice.". Department of Food Science and Nutrition, Kyungpook National University; Jung UJ, Lee MK, Jeong KS, Choi MS.. Diakses pada 7 Agustus 2010.
^ (Inggris)"[Association of serum interleukin-6 and high-sensitivity C-reactive protein levels with insulin resistance in gestational diabetes mellitus"]. Department of Endocrinology, Nangfang Hospital, Southern Medical University; Yu F, Xue YM, Li CZ, Shen J, Gao F, Yu YH, Fu XJ.. Diakses pada 28 Juli 2010.
^ (Inggris)"Secondary diabetes associated with principal endocrinopathies: the impact of new treatment modalities". Department of Endocrinology and Medical Sciences, Center of Excellence for Biomedical Research, University of Genoa; Resmini E, Minuto F, Colao A, Ferone D.. Diakses pada 29 Juni 2010.
^ (Inggris)"Cytokine synergism in apoptosis: its role in diabetes and cancer". Department of Medicine, Samsung Medical Center, Sungkyunkwan University School of Medicine and National Research Laboratory of Cell Death and Diabetes Research; Lee MS.. Diakses pada 30 Juni 2010.
^ (Inggris)"The role of Fas ligand in beta cell destruction in autoimmune diabetes of NOD mice". Autoimmunity Research Unit, Canberra Clinical School, University of Sydney; Petrovsky N, Silva D, Socha L, Slattery R, Charlton B.. Diakses pada 30 Juni 2010.
^ a b (Inggris)"Prevention of type 1 diabetes: from the view point of beta cell damage.". Department of Metabolism/Diabetes and Clinical Nutrition, Nagasaki University Hospital of Medicine and Dentistry; Kawasaki E, Abiru N, Eguchi K.. Diakses pada 30 Juni 2010.
^ a b c Tim FK UI, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Media Aesculapius, Jakarta: 1999. ISBN 979-95607-0-5
[sunting]
Pranala luar
(Inggris) World Health Organization fact sheet on diabetes
(Inggris) World Health Organization — The Diabetes Programme
(Inggris) International Diabetes Federation
(Inggris) The Immunology of Diabetes Society
(Inggris) Juvenile Diabetes Research Foundation
(Inggris) MedlinePlus Diabetes from the U.S. National Library of Medicine
(Inggris)
Diabetes pada Anak Belum Diwaspadai
Jakarta, Kompas - Penyakit diabetes melitus tak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Namun, diabetes pada anak belum diwaspadai sehingga penanganannya menjadi tidak maksimal.
”Masih banyak orangtua belum tahu tentang penyakit diabetes pada anak. Diabetes pada anak masih dianggap sepele,” kata Aditya Suryansyah, Ketua Unit Kelompok Kerja Endokrin Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Jumat (18/11), pada diskusi tentang diabetes dan hepatitis di Kantor Kementerian Kesehatan. Turut hadir dalam acara itu Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemkes Tjandra Yoga dan Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Kemkes Ali Sulaiman.
Data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak bulan Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan, di Indonesia terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang terkena diabetes melitus (DM) tipe 1. Jumlah penderita yang sesungguhnya diperkirakan jauh lebih tinggi karena banyak yang belum terdeteksi.
DM tipe 1 adalah penyakit diabetes yang disebabkan gangguan pada pankreas. Biasanya, penyebabnya adalah virus. Pada kondisi ini, penderita membutuhkan bantuan insulin. Adapun yang biasa diderita orang dewasa adalah DM tipe 2.
Tidak dijamin
Menurut Aditya, diabetes pada anak memunculkan dampak ekonomi cukup besar pada keluarga. ”Biaya rawat jalannya mencapai 1-2 juta per bulan. Jumlah itu sangat berat untuk keluarga menengah bawah,” kata Aditya. Kenyataannya, biaya pengobatan diabetes dan hepatitis belum masuk jaminan kesehatan masyarakat miskin.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia, penyandang DM di Indonesia pada 2003 sebanyak 13.797.470 orang dan pada 2030 diperkirakan naik jadi 21,3 juta orang. Jika perkiraan ini terwujud, Indonesia akan menduduki peringkat keempat dalam kasus DM setelah India, China, dan Amerika Serikat.
Diperkirakan, 14,7 persen penduduk perkotaan dan 7,2 persen penduduk desa mengidap DM. Pengendalian diabetes harus dilakukan secara komprehensif. Kemkes akan membuat aturan tentang kandungan gula, garam, dan lemak makanan cepat saji. Pemerintah juga akan mengatur kandungan bahan tambahan pangan pada makanan kemasan.
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2011/11/19/07021445/Diabetes.pada.Anak.Belum.Diwaspadai
Diabetes pada Anak Belum Diwaspadai
Penyakit diabetes melitus tak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Namun, diabetes pada anak belum diwaspadai sehingga penanganannya menjadi tidak maksimal.
”Masih banyak orangtua belum tahu tentang penyakit diabetes pada anak. Diabetes pada anak masih dianggap sepele,” kata Aditya Suryansyah, Ketua Unit Kelompok Kerja Endokrin Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Jumat (18/11), pada diskusi tentang diabetes dan hepatitis di Kantor Kementerian Kesehatan. Turut hadir dalam acara itu Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemkes Tjandra Yoga dan Ketua Kelompok Kerja Hepatitis Kemkes Ali Sulaiman.
Data yang dikumpulkan Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi Anak Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sejak bulan Mei 2009 hingga Februari 2011 menunjukkan, di Indonesia terdapat 590 anak dan remaja berusia di bawah 20 tahun yang terkena diabetes melitus (DM) tipe 1. Jumlah penderita yang sesungguhnya diperkirakan jauh lebih tinggi karena banyak yang belum terdeteksi.
DM tipe 1 adalah penyakit diabetes yang disebabkan gangguan pada pankreas. Biasanya, penyebabnya adalah virus. Pada kondisi ini, penderita membutuhkan bantuan insulin. Adapun yang biasa diderita orang dewasa adalah DM tipe 2.
Tidak dijamin
Menurut Aditya, diabetes dan hepatitis pada anak memunculkan dampak ekonomi cukup besar pada keluarga. ”Biaya rawat jalannya mencapai 1-2 juta per bulan. Jumlah itu sangat berat untuk keluarga menengah bawah,” kata Aditya. Kenyataannya, biaya pengobatan diabetes dan hepatitis belum masuk jaminan kesehatan masyarakat miskin.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia, penyandang DM di Indonesia pada 2003 sebanyak 13.797.470 orang dan pada 2030 diperkirakan naik jadi 21,3 juta orang. Jika perkiraan ini terwujud, Indonesia akan menduduki peringkat keempat dalam kasus DM setelah India, China, dan Amerika Serikat.
Diperkirakan, 14,7 persen penduduk perkotaan dan 7,2 persen penduduk desa mengidap DM.
Menurut Tjandra, pengendalian diabetes harus dilakukan secara komprehensif. Kemkes akan membuat aturan tentang kandungan gula, garam, dan lemak makanan cepat saji. Pemerintah juga akan mengatur kandungan bahan tambahan pangan pada makanan kemasan.
Pada forum diskusi itu juga dibahas tentang penyakit hepatitis A yang baru-baru ini merebak di Kota Depok, Jawa Barat. Karena banyaknya jumlah penderita, Pemerintah Kota Depok menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). (IND)
Sumber : Kompas.comVariations in Insulin Secretion in Carriers of Gene Variants in IRS-1 and -2
LOA LOA
LOA LOA
Synonyms: African eye worm, Loa worm, Filaria oculiName of disease: Loaiasis, Calabar swelling (swelling Fugitive), Tropical
swelling and Africa eyewormVector: ChrysopsHospes: HumanHabitat: Adult worms found in the subcutaneous tissue
humans. Microfilariae circulating in the blood
during the day (diurna) and live in the pulmonary capillary blood
at night. Can also be found in the urine,
sputum and sometimes in the spinal fluid
back.Geographic distribution: Many are found in West Africa and Central AfricaScientific classificationKingdom: AnimaliaPhylum: NemathelmynthesClass: NematodesOrder: SpiruridaSuperfamily: FilarioideaFamily: OnchocercidaeGenus: LoaSpecies: Loa loaHistory
The first case was recorded Loa loa infection in the Caribbean (Santo Domingo) in 1770. A French surgeon named Mongin tried but failed to remove worms that pass in the eyes of a woman. Several years later, in 1778, Francois Guyot surgeon can perform surgery on the worms in the eyes of a slave from West Africa to the French ship to America.
Identification of microfilaria was made in 1890 by ophthalmologist Stephen McKenzie. A common clinical presentation of loiasis, who observed in 1895 in the coastal city of Calabar Nigeria is created the name of swelling.
This observation was made by a Scottish ophthalmologist Douglas Argyll-Robertson, but the relationship between Loa loa and Calabar swelling is not realized until the year 1910 (by Dr. Patrick Manson). Determination of flies Chrysops vectors are known in 1912 by British parasitologist Robert Thompson Leiper.
Morphology
Adult worms shaped like fine threads and milky white
Female worms: body length can reach 7cm or 50-70 mm 0.5 n
Male worms: 4cm or 30 to 340.43 mm
Microfilariae: 250-300 mokron 6 to 8.5 microns, has a holster / sheath
Life Cycle
A. Microfilariae that circulate in the blood sucked by flies Chrysops
after 10-12 days in the body of insects, microfilariae infective larvae grow up to be characterized by skin changes
then transmitted to other humans
Adult worms live in the human body within 1-4 years, then berkopulasi and female adult worms release microfilariae.
Adult worms grow in the human body and within 1 to 4 weeks from berkopulasi and adult female worms release mikrofilarianya.
Pathogenesis and Clinical Symptoms· Microfilariae usually do not cause symptoms· Adult worms can be found throughout the body and often cause disturbances in the conjunctiva of the eye (sore, swollen eyelids) and the base of the nose· Abnormalities Typical Calabar Swelling or fungitive swelling (swelling of tissue the size of chicken eggs)· If the worms get into the brain may cause encephalitis
Diagnosis
By finding microfilariae in the blood taken during the day
By finding the adult worms from the eye conjunctiva or in the subcutaneous tissue
Treatment
Giving dietilkarbamasin citrate (DEC) dose of 2 mg / kg / day, 3 times daily for 14 days
Surgery to remove the adult worms that can be done at the back of the nose or across the network at the time appear in the conjunctiva of the cornea
PREVENTION
Regular treatment of patients
Conducting the eradication of the vector and the vector to prevent bites
PrognosisPrognosis is usually good when the adult worms had been expelled from the eye and the treatment worked well
Diposkan oleh Andreas Heri di 18:51 0 komentar Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label: Parasitologi
Nematoda Jaringan - Loa Loa
Nematoda Jaringan - Loa Loa
Sinonim : Cacing mata Afrika, cacing Loa, Filaria oculi
Nama penyakit : Loaiasis, calabar swelling (fugitive swelling), Tropical
swelling dan Afrika eyeworm
Vektor : Chrysops
Hospes : Manusia
Habitat : Cacing dewasa terdapat di jaringan subkutan
manusia. Mikrofilaria beredar dalam darah pada
siang hari (diurna) dan hidup di kapiler darah paru
pada malam hari. Dapat juga diketemukan di urin,
dahak dan terkadang dalam cairan sumsum tulang
belakang.
Distribusi geografik : Banyak ditemukan di Afrika Barat dan Afrika Tengah
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan : Animalia
Filum : Nemathelmynthes
Kelas : Nematoda
Order : Spirurida
Superfamili : Filarioidea
Keluarga : Onchocercidae
Genus : Loa
Spesies : Loa loa
Sejarah
Kasus pertama infeksi Loa loa tercatat di Karibia (Santo Domingo) pada tahun 1770. Seorang ahli bedah Prancis bernama Mongin mencoba tetapi gagal untuk menghapus cacing yang lewat di mata seorang wanita. Beberapa tahun kemudian, pada 1778, ahli bedah Guyot Francois dapat melakukan pembedahan pada cacing di mata seorang budak dari Afrika Barat pada kapal Prancis ke Amerika.
Identifikasi microfilaria dibuat pada tahun 1890 oleh Stephen dokter mata McKenzie. Sebuah presentasi klinis umum loiasis, yang diamati pada tahun 1895 di pesisir kota Nigeria maka terciptalah nama Calabar swelling.
Pengamatan ini dibuat oleh seorang dokter mata Skotlandia bernama Douglas Argyll-Robertson, tetapi hubungan antara Loa loa dan Calabar swelling tidak disadari sampai tahun 1910 (oleh Dr Patrick Manson). Penentuan vektor lalat Chrysops diketahui pada tahun 1912 oleh British parasitologist Robert Thompson Leiper.
Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti benang halus dan berwarna putih susu
Cacing betina : panjang tubuhnya dapat mencapai 7cm atau 50 - 70 0,5n mm
Cacing jantan : 4cm atau 30-340,43 mm
Mikrofilaria : 250-300 mikron 6-8,5 mokron, memiliki sarung/selubung
Siklus Hidup
1. Mikrofilaria yang beredar dalam darah dihisap oleh lalat Chrysops
setelah 10-12 hari didalam tubuh serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi larva infektif yang ditandai dengan pergantian kulit
kemudian ditularkan kepada manusia lainnya
cacing dewasa hidup dalam tubuh manusia dalam waktu 1-4 tahun, kemudian berkopulasi dan cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria.
Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia dan dalam waktu 1 sampai 4 minggu mulai berkopulasi dan cacing betina dewasa mengeluarkan mikrofilarianya.
Patogenesis dan Gejala Klinik
· Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan gejala
· Cacing dewasa dapat diketemukan diseluruh tubuh dan sering kali menimbulkan ganguan di konjungtiva mata (sakit, pelupuk mata bengkak) dan pangkal hidung
· Kelainan yang khas adalah Calabar Swelling atau fungitive swelling (pembengkakan jaringan yang berukuran sebesar telur ayam)
· Jika cacing masuk ke otak dapat menyebabkan ensefalitis
Diagnosis
Dengan menemukan mikrofilaria dalam darah yang diambil pada siang hari
Dengan menemukan cacing dewasa dari konjungtiva mata ataupun dalam jaringan subkutan
Pengobatan
Pemberian dietilkarbamasin sitrat (DEC) dosis 2 mg/kgBB/hari, 3 x sehari selama 14 hari
Pembedahan untuk mengeluarkan cacing dewasa yang dapat dilakukan pada waktu melintasi jaringan punggung hidung atau pada waktu tampak di konjungtiva kornea
PENCEGAHAN
Pengobatan secara teratur terhadap penderita
Mengadakan pemberantasan vektor dan mencegah gigitan vektor tersebut
Prognosis
Prognosis biasanya baik apabila cacing dewasa telah dikeluarkan dari mata dan pengobatan berhasil dengan baik
Diposkan oleh Andreas Heri di 18:48 0 komentar Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label: Parasitologi
Nematoda Jaringan - Wuchereria bancrofti
Nematoda Jaringan - Wuchereria bancrofti
Life Cycle of Wuchereria bancrofti:
Different species of the following genera of mosquitoes are vectors of W. bancrofti filariasis depending on geographical distribution. Among them are: Culex (C. annulirostris, C. bitaeniorhynchus, C. quinquefasciatus, and C. pipiens); Anopheles (A. arabinensis, A. bancroftii, A. farauti, A. funestus, A. gambiae, A. koliensis, A. melas, A. merus, A. punctulatus and A. wellcomei); Aedes (A. aegypti, A. aquasalis, A. bellator, A. cooki, A. darlingi, A. kochi, A. polynesiensis, A. pseudoscutellaris, A. rotumae, A. scapularis, and A. vigilax); Mansonia (M. pseudotitillans, M. uniformis); Coquillettidia (C. juxtamansonia). During a blood meal, an infected mosquito introduces third-stage filarial larvae onto the skin of the human host, where they penetrate into the bite wound . They develop in adults that commonly reside in the lymphatics . The female worms measure 80 to 100 mm in length and 0.24 to 0.30 mm in diameter, while the males measure about 40 mm by .1 mm. Adults produce microfilariae measuring 244 to 296 μm by 7.5 to 10 μm, which are sheathed and have nocturnal periodicity, except the South Pacific microfilariae which have the absence of marked periodicity. The microfilariae migrate into lymph and blood channels moving actively through lymph and blood . A mosquito ingests the microfilariae during a blood meal . After ingestion, the microfilariae lose their sheaths and some of them work their way through the wall of the proventriculus and cardiac portion of the mosquito's midgut and reach the thoracic muscles . There the microfilariae develop into first-stage larvae and subsequently into third-stage infective larvae . The third-stage infective larvae migrate through the hemocoel to the mosquito's prosbocis and can infect another human when the mosquito takes a blood meal .
Synonyms: African eye worm, Loa worm, Filaria oculiName of disease: Loaiasis, Calabar swelling (swelling Fugitive), Tropical
swelling and Africa eyewormVector: ChrysopsHospes: HumanHabitat: Adult worms found in the subcutaneous tissue
humans. Microfilariae circulating in the blood
during the day (diurna) and live in the pulmonary capillary blood
at night. Can also be found in the urine,
sputum and sometimes in the spinal fluid
back.Geographic distribution: Many are found in West Africa and Central AfricaScientific classificationKingdom: AnimaliaPhylum: NemathelmynthesClass: NematodesOrder: SpiruridaSuperfamily: FilarioideaFamily: OnchocercidaeGenus: LoaSpecies: Loa loaHistory
The first case was recorded Loa loa infection in the Caribbean (Santo Domingo) in 1770. A French surgeon named Mongin tried but failed to remove worms that pass in the eyes of a woman. Several years later, in 1778, Francois Guyot surgeon can perform surgery on the worms in the eyes of a slave from West Africa to the French ship to America.
Identification of microfilaria was made in 1890 by ophthalmologist Stephen McKenzie. A common clinical presentation of loiasis, who observed in 1895 in the coastal city of Calabar Nigeria is created the name of swelling.
This observation was made by a Scottish ophthalmologist Douglas Argyll-Robertson, but the relationship between Loa loa and Calabar swelling is not realized until the year 1910 (by Dr. Patrick Manson). Determination of flies Chrysops vectors are known in 1912 by British parasitologist Robert Thompson Leiper.
Morphology
Adult worms shaped like fine threads and milky white
Female worms: body length can reach 7cm or 50-70 mm 0.5 n
Male worms: 4cm or 30 to 340.43 mm
Microfilariae: 250-300 mokron 6 to 8.5 microns, has a holster / sheath
Life Cycle
A. Microfilariae that circulate in the blood sucked by flies Chrysops
after 10-12 days in the body of insects, microfilariae infective larvae grow up to be characterized by skin changes
then transmitted to other humans
Adult worms live in the human body within 1-4 years, then berkopulasi and female adult worms release microfilariae.
Adult worms grow in the human body and within 1 to 4 weeks from berkopulasi and adult female worms release mikrofilarianya.
Pathogenesis and Clinical Symptoms· Microfilariae usually do not cause symptoms· Adult worms can be found throughout the body and often cause disturbances in the conjunctiva of the eye (sore, swollen eyelids) and the base of the nose· Abnormalities Typical Calabar Swelling or fungitive swelling (swelling of tissue the size of chicken eggs)· If the worms get into the brain may cause encephalitis
Diagnosis
By finding microfilariae in the blood taken during the day
By finding the adult worms from the eye conjunctiva or in the subcutaneous tissue
Treatment
Giving dietilkarbamasin citrate (DEC) dose of 2 mg / kg / day, 3 times daily for 14 days
Surgery to remove the adult worms that can be done at the back of the nose or across the network at the time appear in the conjunctiva of the cornea
PREVENTION
Regular treatment of patients
Conducting the eradication of the vector and the vector to prevent bites
PrognosisPrognosis is usually good when the adult worms had been expelled from the eye and the treatment worked well
Diposkan oleh Andreas Heri di 18:51 0 komentar Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label: Parasitologi
Nematoda Jaringan - Loa Loa
Nematoda Jaringan - Loa Loa
Sinonim : Cacing mata Afrika, cacing Loa, Filaria oculi
Nama penyakit : Loaiasis, calabar swelling (fugitive swelling), Tropical
swelling dan Afrika eyeworm
Vektor : Chrysops
Hospes : Manusia
Habitat : Cacing dewasa terdapat di jaringan subkutan
manusia. Mikrofilaria beredar dalam darah pada
siang hari (diurna) dan hidup di kapiler darah paru
pada malam hari. Dapat juga diketemukan di urin,
dahak dan terkadang dalam cairan sumsum tulang
belakang.
Distribusi geografik : Banyak ditemukan di Afrika Barat dan Afrika Tengah
Klasifikasi ilmiah
Kerajaan : Animalia
Filum : Nemathelmynthes
Kelas : Nematoda
Order : Spirurida
Superfamili : Filarioidea
Keluarga : Onchocercidae
Genus : Loa
Spesies : Loa loa
Sejarah
Kasus pertama infeksi Loa loa tercatat di Karibia (Santo Domingo) pada tahun 1770. Seorang ahli bedah Prancis bernama Mongin mencoba tetapi gagal untuk menghapus cacing yang lewat di mata seorang wanita. Beberapa tahun kemudian, pada 1778, ahli bedah Guyot Francois dapat melakukan pembedahan pada cacing di mata seorang budak dari Afrika Barat pada kapal Prancis ke Amerika.
Identifikasi microfilaria dibuat pada tahun 1890 oleh Stephen dokter mata McKenzie. Sebuah presentasi klinis umum loiasis, yang diamati pada tahun 1895 di pesisir kota Nigeria maka terciptalah nama Calabar swelling.
Pengamatan ini dibuat oleh seorang dokter mata Skotlandia bernama Douglas Argyll-Robertson, tetapi hubungan antara Loa loa dan Calabar swelling tidak disadari sampai tahun 1910 (oleh Dr Patrick Manson). Penentuan vektor lalat Chrysops diketahui pada tahun 1912 oleh British parasitologist Robert Thompson Leiper.
Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti benang halus dan berwarna putih susu
Cacing betina : panjang tubuhnya dapat mencapai 7cm atau 50 - 70 0,5n mm
Cacing jantan : 4cm atau 30-340,43 mm
Mikrofilaria : 250-300 mikron 6-8,5 mokron, memiliki sarung/selubung
Siklus Hidup
1. Mikrofilaria yang beredar dalam darah dihisap oleh lalat Chrysops
setelah 10-12 hari didalam tubuh serangga, mikrofilaria tumbuh menjadi larva infektif yang ditandai dengan pergantian kulit
kemudian ditularkan kepada manusia lainnya
cacing dewasa hidup dalam tubuh manusia dalam waktu 1-4 tahun, kemudian berkopulasi dan cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria.
Cacing dewasa tumbuh dalam badan manusia dan dalam waktu 1 sampai 4 minggu mulai berkopulasi dan cacing betina dewasa mengeluarkan mikrofilarianya.
Patogenesis dan Gejala Klinik
· Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan gejala
· Cacing dewasa dapat diketemukan diseluruh tubuh dan sering kali menimbulkan ganguan di konjungtiva mata (sakit, pelupuk mata bengkak) dan pangkal hidung
· Kelainan yang khas adalah Calabar Swelling atau fungitive swelling (pembengkakan jaringan yang berukuran sebesar telur ayam)
· Jika cacing masuk ke otak dapat menyebabkan ensefalitis
Diagnosis
Dengan menemukan mikrofilaria dalam darah yang diambil pada siang hari
Dengan menemukan cacing dewasa dari konjungtiva mata ataupun dalam jaringan subkutan
Pengobatan
Pemberian dietilkarbamasin sitrat (DEC) dosis 2 mg/kgBB/hari, 3 x sehari selama 14 hari
Pembedahan untuk mengeluarkan cacing dewasa yang dapat dilakukan pada waktu melintasi jaringan punggung hidung atau pada waktu tampak di konjungtiva kornea
PENCEGAHAN
Pengobatan secara teratur terhadap penderita
Mengadakan pemberantasan vektor dan mencegah gigitan vektor tersebut
Prognosis
Prognosis biasanya baik apabila cacing dewasa telah dikeluarkan dari mata dan pengobatan berhasil dengan baik
Diposkan oleh Andreas Heri di 18:48 0 komentar Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Label: Parasitologi
Nematoda Jaringan - Wuchereria bancrofti
Nematoda Jaringan - Wuchereria bancrofti
Life Cycle of Wuchereria bancrofti:
Different species of the following genera of mosquitoes are vectors of W. bancrofti filariasis depending on geographical distribution. Among them are: Culex (C. annulirostris, C. bitaeniorhynchus, C. quinquefasciatus, and C. pipiens); Anopheles (A. arabinensis, A. bancroftii, A. farauti, A. funestus, A. gambiae, A. koliensis, A. melas, A. merus, A. punctulatus and A. wellcomei); Aedes (A. aegypti, A. aquasalis, A. bellator, A. cooki, A. darlingi, A. kochi, A. polynesiensis, A. pseudoscutellaris, A. rotumae, A. scapularis, and A. vigilax); Mansonia (M. pseudotitillans, M. uniformis); Coquillettidia (C. juxtamansonia). During a blood meal, an infected mosquito introduces third-stage filarial larvae onto the skin of the human host, where they penetrate into the bite wound . They develop in adults that commonly reside in the lymphatics . The female worms measure 80 to 100 mm in length and 0.24 to 0.30 mm in diameter, while the males measure about 40 mm by .1 mm. Adults produce microfilariae measuring 244 to 296 μm by 7.5 to 10 μm, which are sheathed and have nocturnal periodicity, except the South Pacific microfilariae which have the absence of marked periodicity. The microfilariae migrate into lymph and blood channels moving actively through lymph and blood . A mosquito ingests the microfilariae during a blood meal . After ingestion, the microfilariae lose their sheaths and some of them work their way through the wall of the proventriculus and cardiac portion of the mosquito's midgut and reach the thoracic muscles . There the microfilariae develop into first-stage larvae and subsequently into third-stage infective larvae . The third-stage infective larvae migrate through the hemocoel to the mosquito's prosbocis and can infect another human when the mosquito takes a blood meal .
Senin, 14 Mei 2012
Toxoplasma Gondii
Toxoplasma Gondii
Toxoplasma gondii is a microscopic protozoa that causes a disease called toxoplasmosis. The disease is found all over the world. Some estimates suggest that over 30 % of human population is infected. For example, in Germany and France most people carry the parasite, whereas in South Korea it is quite rare. More than 60 million people in the United States are said to be infected. Toxoplasmosis is usually asymptomatic, because our immune system keeps the parasite from causing illness. The disease is more problematic for pregnant women and people who have weakened immune systems. Cats are the primary host and humans and other warm blooded animals are just intermediate hosts. In this sense Toxoplasma gondii is not a pure human parasite.
Toxoplasma gondii is known to change the host's behaviour. Studies show the capability for the parasite to make rats fearless near cats. This indicates the evolutionary need for Toxoplasma gondii to get inside felines. When a rat is eaten by a cat the parasite gets inside the primary host. There have been a few studies with humans, too. Some results indicate a strong correlation between schizophrenia and toxoplasmosis. According to some studies women with toxoplasmosis are more likely to cheat their husbands. Men with the parasite have shown to be more aggressive. Infected humans also have slower reaction times.
Humans get infected by:
blood transfusion or organ transplantation (very rare)
consuming undercooked, infected meat (especially lamb, pork and venison)
ingesting water, soil (for example, putting dirty fingers in your mouth) or anything else that has been contaminated with cat feces
mother-to-child transmission. A pregnant woman, who has just been infected with Toxoplasma gondii can pass the infection to her unborn baby (congenital infection). She might not have any symptoms, but the unborn child might suffer and develop disease.
The life cycle of Toxoplasma gondii starts, when oocysts (resting form of the parasite) exit the primary host (cat) in the feces. Millions of oocysts are shed for as long as three weeks after infection. Oocysts sporulate and become infective within a few days in the environment. The oocysts are found only in the feces of domestic and wild cats. Birds, humans and other intermediate hosts get infected after ingesting water or food contaminated with the cat feces. (Healthy cats can get infected this way, too.) In the gut oocysts transform into tachyzoites which are about 4–8 µm long and 2–3 µm wide. They travel to other parts of the body via bloodstream and further develop into tissue cyst bradyzoites in muscle and neural tissue. Cysts are about 5–50 µm in diameter. They are commonly found in skeletal muscles, brain, myocardium and eyes where they can remain many decades. If a cat (or a human) eats the intermediate host, the tissue cysts get ingested and the parasite activates in the small intestine.
Healthy people who become infected often do not have symptoms because their immune system keeps the parasite from causing sickness. 10–20 % of patients develop sore lymph nodes, muscle pains and other minor symptoms that last for several weeks and then go away (acute toxoplasmosis). The parasites remain in the body as tissue cysts (bradyzoites) and reactivate, if the person becomes immunosuppressed by other diseases or by immunosuppressive drugs.
Usually if a woman has been infected before becoming pregnant, the unborn baby is safe because the mother has developed immunity. If a woman is pregnant and becomes infected with toxoplasmosis during or right before pregnancy, she can transmit the disease to her unborn child (congenital transmission). The earlier the transmission occurs the bigger the effects. Then again, the longer the pregnancy goes on, the more likely is the infection going to occur. This has something got to do with the penetrability of the placenta. Symptoms might include:
miscarriage or stillborn baby
baby born with signs of toxoplasmosis (for example, abnormal enlargement or smallness of the head)
baby with brain or eye damage.
Usually the babies have no symptoms initially, but can develop mental disability, vision loss (ocular toxoplasmosis) and seizures later in life.
Eye disease can be caused by congenital toxoplasmosis or infection after birth or rarely from acute toxoplasmosis as an adult. Eye lesions from congenital infection are often not present at birth but occur in 20–80 % of infected individuals, when they reach adulthood. However, in the U.S. less than 2 % of persons infected after birth develop eye lesions. Eye infection leads to an acute inflammatory lesion of the retina, which leaves retinochoroidal scarring. Symptoms of acute ocular toxoplasmosis include:
blurred or reduced vision
eye pain
redness of the eye
sensitivity to light (photophobia)
tearing of the eyes.
The eye disease can reactivate later in life causing more damage to the retina. If the central structures of the retina are damaged, a progressive vision loss may follow.
People with weakened immune systems may develop central nervous system disease, brain lesions, pneumonitis or retinochoroiditis among other risks. For example, people with AIDS and renewed toxoplasmosis can have symptoms that include:
confusion
fever
headache
nausea
poor coordination
seizures.
If latent (chronic) toxoplasmosis reactivates in immunocompromised pregnant women who were infected before their pregnancy, it might cause congenital infection to the baby.
Toxoplasmosis diagnosis is typically made by serologic tests by detecting immunoglobulin antibodies within several weeks of infection. Your health care provider examines your blood sample to find Toxoplasma-specific IgA, IgG or IgM antibodies. Living parasites can be also found in the sample (blood, cerebrospinal or other body fluids) but the process is more difficult and thus not usually used. Direct observation of the parasite is possible in cerebrospinal fluid (CSF), stained tissue sections or other biopsy samples but these techniques are used less frequently due to their difficulty. A test that measures IgG determines if a person has been infected. Sometimes it is necessary to determine the time of the infection especially if the person is pregnant. For this IgM is detected along with IgG avidity test. Molecular techniques are used for detecting Toxoplasma gondii DNA in the amniotic fluid in cases of congenital transmission (mother-to-child transmission). Ocular toxoplasmosis diagnosis is usually based on symptoms, appearance of lesions in the eye, serologic testing and course of the infection. Serologic tests can be unreliable in immunosuppressed patients.
Toxoplasmosis can be treated with combinations of pyrimethamine with either trisulfapyrimidines or sulfadiazine, plus folinic acid in the form of leucovorin calcium to protect the bone marrow from the toxic effects of pyrimethamine. If this treatment causes hypersensitivity reaction, then pyrimethamine and clindamycin can be used instead. If these drugs are not available, then a combination of sulfamethoxazole and trimethoprim can be used. Pregnant women and babies can be treated but Toxoplasma gondii cannot be eliminated completely. The parasites can remain within tissue cells in a less active stage (cyst) in locations difficult for the medication to get to. A drug called spiramycin is recommended during the first four months whereas sulfadizaine/pyrimethamine and folinic acid for women that have been pregnant for more than four months. PCR (a method to discover parasite DNA) is often performed on the amniotic fluid to find out if the infant is infected. If the infant is likely to be infected, then treatment is done with drugs such as sulfadizaine, pyrimethamine and folinic acid. Congenitally infected babies are treated with sulfonamide and pyrimethamine. Treatment for persons with ocular disease depends on the size of the eye lesion, the characteristics (acute or chronic) and the location of the lesion. Persons with compromised immune systems (such as AIDS patients) need to be treated until their health improves significantly.
Toxoplasma gondii is a microscopic protozoa that causes a disease called toxoplasmosis. The disease is found all over the world. Some estimates suggest that over 30 % of human population is infected. For example, in Germany and France most people carry the parasite, whereas in South Korea it is quite rare. More than 60 million people in the United States are said to be infected. Toxoplasmosis is usually asymptomatic, because our immune system keeps the parasite from causing illness. The disease is more problematic for pregnant women and people who have weakened immune systems. Cats are the primary host and humans and other warm blooded animals are just intermediate hosts. In this sense Toxoplasma gondii is not a pure human parasite.
Toxoplasma gondii is known to change the host's behaviour. Studies show the capability for the parasite to make rats fearless near cats. This indicates the evolutionary need for Toxoplasma gondii to get inside felines. When a rat is eaten by a cat the parasite gets inside the primary host. There have been a few studies with humans, too. Some results indicate a strong correlation between schizophrenia and toxoplasmosis. According to some studies women with toxoplasmosis are more likely to cheat their husbands. Men with the parasite have shown to be more aggressive. Infected humans also have slower reaction times.
Humans get infected by:
blood transfusion or organ transplantation (very rare)
consuming undercooked, infected meat (especially lamb, pork and venison)
ingesting water, soil (for example, putting dirty fingers in your mouth) or anything else that has been contaminated with cat feces
mother-to-child transmission. A pregnant woman, who has just been infected with Toxoplasma gondii can pass the infection to her unborn baby (congenital infection). She might not have any symptoms, but the unborn child might suffer and develop disease.
The life cycle of Toxoplasma gondii starts, when oocysts (resting form of the parasite) exit the primary host (cat) in the feces. Millions of oocysts are shed for as long as three weeks after infection. Oocysts sporulate and become infective within a few days in the environment. The oocysts are found only in the feces of domestic and wild cats. Birds, humans and other intermediate hosts get infected after ingesting water or food contaminated with the cat feces. (Healthy cats can get infected this way, too.) In the gut oocysts transform into tachyzoites which are about 4–8 µm long and 2–3 µm wide. They travel to other parts of the body via bloodstream and further develop into tissue cyst bradyzoites in muscle and neural tissue. Cysts are about 5–50 µm in diameter. They are commonly found in skeletal muscles, brain, myocardium and eyes where they can remain many decades. If a cat (or a human) eats the intermediate host, the tissue cysts get ingested and the parasite activates in the small intestine.
Healthy people who become infected often do not have symptoms because their immune system keeps the parasite from causing sickness. 10–20 % of patients develop sore lymph nodes, muscle pains and other minor symptoms that last for several weeks and then go away (acute toxoplasmosis). The parasites remain in the body as tissue cysts (bradyzoites) and reactivate, if the person becomes immunosuppressed by other diseases or by immunosuppressive drugs.
Usually if a woman has been infected before becoming pregnant, the unborn baby is safe because the mother has developed immunity. If a woman is pregnant and becomes infected with toxoplasmosis during or right before pregnancy, she can transmit the disease to her unborn child (congenital transmission). The earlier the transmission occurs the bigger the effects. Then again, the longer the pregnancy goes on, the more likely is the infection going to occur. This has something got to do with the penetrability of the placenta. Symptoms might include:
miscarriage or stillborn baby
baby born with signs of toxoplasmosis (for example, abnormal enlargement or smallness of the head)
baby with brain or eye damage.
Usually the babies have no symptoms initially, but can develop mental disability, vision loss (ocular toxoplasmosis) and seizures later in life.
Eye disease can be caused by congenital toxoplasmosis or infection after birth or rarely from acute toxoplasmosis as an adult. Eye lesions from congenital infection are often not present at birth but occur in 20–80 % of infected individuals, when they reach adulthood. However, in the U.S. less than 2 % of persons infected after birth develop eye lesions. Eye infection leads to an acute inflammatory lesion of the retina, which leaves retinochoroidal scarring. Symptoms of acute ocular toxoplasmosis include:
blurred or reduced vision
eye pain
redness of the eye
sensitivity to light (photophobia)
tearing of the eyes.
The eye disease can reactivate later in life causing more damage to the retina. If the central structures of the retina are damaged, a progressive vision loss may follow.
People with weakened immune systems may develop central nervous system disease, brain lesions, pneumonitis or retinochoroiditis among other risks. For example, people with AIDS and renewed toxoplasmosis can have symptoms that include:
confusion
fever
headache
nausea
poor coordination
seizures.
If latent (chronic) toxoplasmosis reactivates in immunocompromised pregnant women who were infected before their pregnancy, it might cause congenital infection to the baby.
Toxoplasmosis diagnosis is typically made by serologic tests by detecting immunoglobulin antibodies within several weeks of infection. Your health care provider examines your blood sample to find Toxoplasma-specific IgA, IgG or IgM antibodies. Living parasites can be also found in the sample (blood, cerebrospinal or other body fluids) but the process is more difficult and thus not usually used. Direct observation of the parasite is possible in cerebrospinal fluid (CSF), stained tissue sections or other biopsy samples but these techniques are used less frequently due to their difficulty. A test that measures IgG determines if a person has been infected. Sometimes it is necessary to determine the time of the infection especially if the person is pregnant. For this IgM is detected along with IgG avidity test. Molecular techniques are used for detecting Toxoplasma gondii DNA in the amniotic fluid in cases of congenital transmission (mother-to-child transmission). Ocular toxoplasmosis diagnosis is usually based on symptoms, appearance of lesions in the eye, serologic testing and course of the infection. Serologic tests can be unreliable in immunosuppressed patients.
Toxoplasmosis can be treated with combinations of pyrimethamine with either trisulfapyrimidines or sulfadiazine, plus folinic acid in the form of leucovorin calcium to protect the bone marrow from the toxic effects of pyrimethamine. If this treatment causes hypersensitivity reaction, then pyrimethamine and clindamycin can be used instead. If these drugs are not available, then a combination of sulfamethoxazole and trimethoprim can be used. Pregnant women and babies can be treated but Toxoplasma gondii cannot be eliminated completely. The parasites can remain within tissue cells in a less active stage (cyst) in locations difficult for the medication to get to. A drug called spiramycin is recommended during the first four months whereas sulfadizaine/pyrimethamine and folinic acid for women that have been pregnant for more than four months. PCR (a method to discover parasite DNA) is often performed on the amniotic fluid to find out if the infant is infected. If the infant is likely to be infected, then treatment is done with drugs such as sulfadizaine, pyrimethamine and folinic acid. Congenitally infected babies are treated with sulfonamide and pyrimethamine. Treatment for persons with ocular disease depends on the size of the eye lesion, the characteristics (acute or chronic) and the location of the lesion. Persons with compromised immune systems (such as AIDS patients) need to be treated until their health improves significantly.
Protozoa dan Pembahasan
Protozoa
Merupakan filum hewan bersel satu yang dapat melakukan reproduksi seksual (generatif) maupun aseksual (vegetatif).Habitat hidupnya adalah tempat yang basah atau berair. Jika kondisi lingkungan tempat hidupnya tidak menguntungkanmaka protozoa akan membentuk membran tebal dan kuat yang disebut Kista. Ilmuwan yang pertama kali mempelajariprotozoa adalah Anthony van Leeuwenhoek.
PROTOZOA DIBAGI MENJADI 4 KELAS Þ BERDASAR ALAT GERAK
1 | Rhizopoda
(Sarcodina), alat geraknya berupa pseudopoda (kaki semu) • Amoeba proteus memiliki dua jenis vakuola yaitu vakuola makanan dan vakuola kontraktil. • Entamoeba histolityca menyebabkan disentri amuba (bedakan dengan disentri basiler yang disebabkan Shigella dysentriae) • Entamoeba gingivalis menyebabkan pembusukan makanan di dalam mulut radang gusi (Gingivitis) • Foraminifera sp. fosilnya dapat dipergunakan sebagai petunjuk adanya minyak bumi. Tanah yang mengandung fosil fotaminifera disebut tanah globigerina. • Radiolaria sp. endapan tanah yang mengandung hewan tersebut digunakan untuk bahan penggosok. |
2 |
Flagellata
(Mastigophora), alat geraknya berupa nagel (bulu cambuk). Dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: • Golongan phytonagellata - Euglena viridis (makhluk hidup peralihah antara protozoa dengan ganggang) - Volvax globator (makhluh hidup peralihah antara protozoa dengan ganggang) - Noctiluca millaris (hidup di laut dan dapat mengeluarkan cahaya bila terkena rangsangan mekanik) • Golongan Zooflagellata, contohnya : - Trypanosoma gambiense & Trypanosoma rhodesiense. Menyebabkan penyakit tidur di Afrika dengan vektor (pembawa) Þ lalat Tsetse (Glossina sp.) Trypanosoma gambiense vektornya Glossina palpalis Þ tsetse sungai Trypanosoma rhodeslense vektornya Glossina morsitans Þ tsetse semak - Trypanosoma cruzl Þ penyakit chagas - Trypanosoma evansi Þ penyakit surra, pada hewan ternak (sapi). - Leishmaniadonovani Þ penyakit kalanzar - Trichomonas vaginalis Þ penyakit keputihan |
3 |
Ciliata
(Ciliophora), alat gerak berupa silia (rambut getar) • Paramaecium caudatum Þ disebut binatang sandal, yang memiliki dua jenis vakuola yaitu vakuola makanan dan vakuola kontraktil yang berfungsi untuk mengatur kesetimbangan tekanan osmosis (osmoregulator). Memiliki dua jenis inti Þ Makronukleus dan Mikronukleus (inti reproduktif). Cara reproduksi, aseksual Þ membelah diri, seksual Þ konyugasi. • Balantidium coli Þ menyebabkan penyakit diare. |
4 | Sporozoa,
adalah protozoa yang tidak memiliki alat gerak Cara bergerak hewan ini dengan cara mengubah kedudukan tubuhnya. Pembiakan secara vegetatif (aseksual) disebut juga Skizogoni dan secara generatif (seksual) disebut Sporogoni. Marga yang berhubungan dengan kesehatan manusia Þ Toxopinsma dan Plasmodium. Jenis-jenisnya antara lain: - Plasmodiumfalciparum Þ malaria tropika Þ sporulasi tiap hari - Plasmodium vivax Þ malaria tertiana Þ sporulasi tiap hari ke-3 (48 jam) - Plasmodium malariae Þ malaria knartana Þ sporulasi tiap hari ke-4 (72 jam) - Plasmodiumovale Þ malaria ovale |
Sporozoit Þ Masuk Tubuh Di Dalam Hati (Ekstra Eritrositer) Þ Tropozoid Þ Merozoit (memakan eritrosit Þ Eritrositer) Þ Eritrosit Pecah (peristiwanya Þ Sporulasi) Þ Gametosit Þ Terhisap Nyamuk Þ Zygot Ookinet Þ Oosis Þ Sporozeit.
Pemberantasan malaria dapat dilakulcan dengan cara :
- Menghindari gigitan nyamuk Anopheles sp.
- Mengendalikan populasi nyamuk Anopheles dengan insektisida dan larvasida
- Pengobatan penderita secara teratur dengan antimalaria Þ chloroquin, fansidar, dll
Protozoa secara umum dapat dijelaskan bahwa protozoa adalah berasal dari bahasa Yunani, yaitu protos artinya pertama dan zoon artinya hewan. Jadi,Protozoa adalah hewan pertama. [1] .Protozoa merupakan kelompok lain protista eukariotik.
Kadang-kadang antara algae dan protozoa kurang jelas perbedaannya.
Kebanyakan Protozoa hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Beberapa
organisme mempunyai sifat antara algae dan protozoa. Sebagai contoh algae hijau Euglenophyta, selnya berflagela dan merupakan sel tunggal yang berklorofil, tetapi dapat mengalami kehilangan klorofil
dan kemampuan untuk berfotosintesa. Semua spesies Euglenophyta yang
mampu hidup pada nutrien komplek tanpa adanya cahaya, beberapa ilmuwan
memasukkannya ke dalam filum protozoa. Contohnya strain mutan algae genus Chlamydomonas yang tidak berklorofil, dapat dimasukkan ke dalam kelas Protozoa genus Polytoma. Hal ini merupakan contoh bagaimana sulitnya membedakan dengan tegas antara algae dan protozoa. Protozoa dibedakan dari prokariot
karena ukurannya yang lebih besar, dan selnya eukariotik. Protozoa
dibedakan dari algae karena tidak berklorofil, dibedakan dari jamur
karena dapat bergerak aktif dan tidak berdinding sel, serta dibedakan
dari jamur lendir karena tidak dapat membentuk badan buah. [2]
Daftar isi |
Bentuk Tubuh
Biasanya berkisar 10-50 μm, tetapi dapat tumbuh sampai 1 mm, dan
mudah dilihat di bawah mikroskop. Mereka bergerak di sekitar dengan
cambuk seperti ekor disebut flagela. Mereka sebelumnya jatuh di bawah keluarga Protista.
Lebih dari 30.000 jenis telah ditemukan. Protozoa terdapat di seluruh
lingkungan berair dan tanah, menduduki berbagai tingkat trophic. Tubuh
protozoa amat sederhana, yaitu terdiri dari satu sel tunggal (unisel).
Namun demikian, Protozoa merupakan system yang serba bisa. Semua tugas
tubuh dapat dilakukan oleh satu sel saja tanpa mengalami tumpang tindih.
Ukuaran tubuhnya antaran 3-1000 mikron.Bentuk tubuh macam-macam ada
yang seperti bola, bulat memanjang, atau seperti sandal bahkan ada yang
bentuknya tidak menentu. Juga ada memiliki fligel atau bersilia. [1]
Habitat
Protozoa hidup di air atau setidaknya di tempat yang basah. Mereka
umumnya hidup bebas dan terdapat di lautan, lingkungan air tawar, atau
daratan. Beberapa spesies bersifat parasitik, hidup pada organisme inang. Inang protozoa yang bersifat parasit dapat berupa organisme sederhana seperti algae, sampai vertebrata
yang kompleks, termasuk manusia. Beberapa spesies dapat tumbuh di dalam
tanah atau pada permukaan tumbuh-tumbuhan. Semua protozoa memerlukan
kelembaban yang tinggi pada habitat apapun. Beberapa jenis protozoa laut
merupakan bagian dari zooplankton. Protozoa laut yang lain hidup di dasar laut.
Spesies yang hidup di air tawar dapat berada di danau, sungai, kolam,
atau genangan air. Ada pula protozoa yang tidak bersifat parasit yang
hidup di dalam usus termit atau di dalam rumen hewan ruminansia.
Beberapa protozoa berbahaya bagi manusia karena mereka dapat
menyebabkan penyakit serius. Protozoa yang lain membantu karena mereka
memakan bakteri berbahaya dan menjadi makanan untuk ikan dan hewan
lainnya. [2]. Protozoa hidup secara soliter atau bentuk koloni. Didalam ekosistem
air protozoa merupakan zooplankton. Permukan tubuh Protozoadibayangi
oleh membransel yang tipis, elastis, permeable, yang tersusun dari bahan
lipoprotein, sehingga bentuknya mudah berubah-ubah. Beberapa jenis
protozoa memiliki rangka luar ( cangkok) dari zat kersik dan kapur.
Apabila kondisi lingkungan tempat tinggal tiba-tiba menjadi jelek,
Protozoa membentuk kista. Dan menjadi aktif lagi. Organel yang terdapat
di dalam sel antara lain nucleus, badan golgi, mikrokondria, plastida, dan vakluola. Nutrisi protozoa bermacam-macam. Ada yang holozoik (heterotrof),
yaitu makanannya berupa organisme lainnya,. Ada pula yang holofilik
(autotrof), yaitu dapat mensintesis makanannya sendiri dari zat organic
dengan bantuan klorofit dan cahaya. Selain itu ada yang bersifat saprofitik,
yaitu menggunakan sisa bahan organic dari organisme yang telah mati
adapula yang bersifat parasitik. Apabila protozoa dibandingkan dengan
tumbuhan unisel, terdapat banyak perbedaan tetapi ada persamaannya. Hal
ini mungkin protozoa meriupakan bentuk peralihan dari bentuk sel
tumbuhan ke bentuk sel hewan dalam perjalanan evolusinya. [1]
Ciri-ciri
Protozoa adalah mikroorganisme menyerupai hewan yang merupakan salah
satu filum dari Kingdom Protista. Seluruh kegiatan hidupnya dilakukan
oleh sel itu sendiri dengan menggunakan organel-organel antara lain
membran plasma, sitoplasma, dan mitokondria. Ciri-ciri umum :
- Organisme uniseluler (bersel tunggal)
- Eukariotik (memiliki membran nukleus)
- Hidup soliter (sendiri) atau berkoloni (kelompok)
- Umumnya tidak dapat membuat makanan sendiri (heterotrof)
- Hidup bebas, saprofit atau parasit
- Dapat membentuk sista untuk bertahan hidup
- Alat gerak berupa pseudopodia, silia, atau flagela [3]
Ciri-ciri prozoa sebagai hewan adalah gerakannya yang aktif dengan silia atau flagen, memili membrane sel dari zat lipoprotein,
dan bentuk tubuhnya ada yang bisa berubah-ubah. Adapun yang bercirikan
sebagai tumbuhan adalah ada jenis protozoa yang hidup autotrof. Ada yang
bisa berubag-ubah. Adapun yang mencirikan sebagai sebagai tumbuhan
adalah ada jenis protozoa yang hidup autotrof. Perkembangbiakan bakteri
dan amuba Perkembangbiakan amuba dan bakteri yang biasa dilakukan adalah
dengan membela diri. Dalam kondisi yang sesuai mereka mengadakan
pembelahan secara setiap 15 menit. Peristiwa ini dimulai dengan
pembelahan inti sel atau bahan inti menjadi dua. Kemudian diikuti dengan
pembelahan sitoplasmanya, menjadi dua yang masing=masing menyelubungi
inti selnya. Selanjutnya bagian tengah sitoplasma menggenting diikuti
dengan pemisahan sitoplasma.
Akhirnya setelah sitoplasma telah benar-benar terpisah, maka
terbentuknya dua sel baru yang masing=masing mempunyai inti baru dan
sitoplasma yang baru pula. Pada amuba bila keadan kurang baik, misalnya
udara terlalu dingin atau panas atau kurang makan, maka amuba akan
membentu kista. Didalam kista amuba
dapt membelah menjadi amuba-amuba baru yang lebih kacil. Bila keadaan
lingkungan telah baik kembali, maka dinding kista akan pecah dan
amuba-amuba baru tadi dapat keluar. Selanjudnya amuba ini akan tumbuh
setelah sampaipada ukuran tertentu dia akan membelah diri seperti
semula. [1]
Morfologi Protozoa
Semua protozoa mempunyai vakuola kontraktil. Vakuola dapat berperan
sebagai pompa untuk mengeluarkan kelebihan air dari sel, atau untuk
mengatur tekanan osmosis. Jumlah dan letak vakuola kontraktil berbeda
pada setiap spesies. Protozoa dapat berada dalam bentuk vegetatif
(trophozoite), atau bentuk istirahat yang disebut kista. Protozoa pada
keadaan yang tidak menguntungkan dapat membentuk kista untuk
mempertahankan hidupnya. Saat kista berada pada keadaan yang
menguntungkan, maka akan berkecambah menjadi sel vegetatifnya. Protozoa
tidak mempunyai dinding sel, dan tidak mengandung selulosa atau khitin seperti pada jamur dan algae. Kebanyakan protozoa mempunyai bentuk spesifik, yang ditandai dengan fleksibilitas ektoplasma yang ada dalam membran sel.
Beberapa jenis protozoa seperti Foraminifera mempunyai kerangka luar
sangat keras yang tersusun dari Si dan Ca. Beberapa protozoa seperti
Difflugia, dapat mengikat partikel mineral untuk membentuk kerangka luar
yang keras. Radiolarian dan Heliozoan dapat menghasilkan skeleton. Kerangka luar yang keras ini sering ditemukan dalam bentuk fosil. Kerangka luar Foraminifera
tersusun dari CaO2 sehingga koloninya dalam waktu jutaan tahun dapat
membentuk batuan kapur. Protozoa merupakan sel tunggal, yang dapat
bergerak secara khas menggunakan pseudopodia
(kaki palsu), flagela atau silia, namun ada yang tidak dapat bergerak
aktif. Berdasarkan alat gerak yang dipunyai dan mekanisme gerakan inilah
protozoa dikelompokkan ke dalam 4 kelas. Protozoa yang bergerak secara
amoeboid dikelompokkan ke dalam Sarcodina, yang bergerak dengan flagela
dimasukkan ke dalam Mastigophora, yang bergerak dengan silia dikelompokkan ke dalam Ciliophora, dan yang tidak dapat bergerak serat merupakan parasit hewan maupun manusia dikelompokkan ke dalam Sporozoa. Mulai tahun 1980, oleh Commitee on Systematics and Evolution of the Society of Protozoologist, mengklasifikasikan protozoa menjadi 7 kelas baru, yaitu Sarcomastigophora, Ciliophora, Acetospora, Apicomplexa, Microspora, Myxospora, dan Labyrinthomorpha. Pada klasifikasi yang baru ini, Sarcodina dan Mastigophora digabung menjadi satu kelompok Sarcomastigophora, dan Sporozoa karena anggotanya sangat beragam, maka dipecah menjadi lima kelas. Contoh protozoa yang termasuk Sarcomastigophora adalah genera Monosiga, Bodo, Leishmania, Trypanosoma, Giardia, Opalina, Amoeba, Entamoeba, dan Difflugia. Anggota kelompok Ciliophora antara lain genera Didinium, Tetrahymena, Paramaecium, dan Stentor. Contoh protozoa kelompok Acetospora adalah genera Paramyxa. Apicomplexa beranggotakan genera Eimeria, Toxoplasma, Babesia, Theileria. Genera Metchnikovella termasuk kelompok Microspora. Genera Myxidium dan Kudoa adalah contoh anggota kelompok Myxospora.[2]
Fisiologi Protozoa
Protozoa umumnya bersifat aerobik nonfotosintetik, tetapi beberapa protozoa dapat hidup pada lingkung ananaerobik misalnya pada saluran pencernaan manusia atau hewan ruminansia. Protozoa aerobik mempunyai mitokondria yang mengandung enzim untuk metabolisme aerobik, dan untuk menghasilkan ATP melalui proses transfer elektron dan atom hidrogen ke oksigen.
Protozoa umumnya mendapatkan makanan dengan memangsa organisme lain
(bakteri) atau partikel organik, baik secara fagositosis maupun
pinositosis. Protozoa yang hidup di lingkungan air, maka oksideng dan
air maupun molekul-molekul kecil dapat berdifusi melalui membran sel.
Senyawa makromolekul yang tidak dapat berdifusi melalui membran, dapat
masuk sel secara pinositosis.
Tetesan cairan masuk melalui saluran pada membran sel, saat saluran
penuh kemudian masuk ke dalam membrane yang berikatan denga vakuola.
Vakuola kecil terbentuk, kemudian dibawa ke bagian dalam sel,
selanjutnya molekul dalam vakuola dipindahkan ke sitoplasma. Partikel
makanan yang lebih besar dimakan secara fagositosis oleh sel yang
bersifat amoeboid dan anggota lain dari kelompok Sarcodina.
Partikel dikelilingi oleh bagian membran sel yang fleksibel untuk
ditangkap kemudian dimasukkan ke dalam sel oleh vakuola besar (vakuola
makanan). Ukuran vakuola mengecil kemudian mengalami pengasaman. Lisosom
memberikan enzim ke dalam vakuola makanan tersebut untuk mencernakan
makanan, kemudian vakuola membesar kembali. Hasil pencernaan makanan
didispersikan ke dalam sitoplasma secara pinositosis, dan sisa yang
tidak tercerna dikeluarkan dari sel. Cara inilah yang digunakan protozoa
untuk memangsa bakteri. Pada kelompok Ciliata, ada organ mirip mulut di
permukaan sel yang disebut sitosom. Sitosom dapat digunakan menangkap
makanan dengan dibantu silia. Setelah makanan masuk ke dalam vakuola
makanan kemudian dicernakan, sisanya dikeluarkan dari sel melalui
sitopig yang terletak disamping sitosom.[2]
Adaptasi
Sebagai predator, mereka memangsa uniseluler atau berserabut ganggang, bakteri, dan microfungi. Protozoa memainkan peran baik sebagai herbivora dan konsumen di decomposer link dari rantai makanan. Protozoa juga memainkan peranan penting dalam mengendalikan populasi bakteri dan biomas.
Protozoa dapat menyerap makanan melalui membran sel mereka, beberapa,
misalnya amoebas, mengelilingi dan menelan makanan itu, dan yang lain
lagi memiliki bukaan atau "mulut pori-pori" ke mana mereka menyapu
makanan. Semua protozoa yang mencerna makanan di perut mereka seperti
kompartemen disebut vakuola.
Sebagai komponen dari mikro-dan meiofauna, protozoa merupakan sumber
makanan penting bagi microinvertebrates. Dengan demikian, peran ekologis
protozoa dalam transfer bakteri dan ganggang produksi ke tingkat
trophic berurutan adalah penting. Protozoa seperti parasit malaria
(Plasmodium spp.), Dan Leishmania trypanosomes juga penting sebagai parasit dan symbionts dari hewan multisel.
Beberapa protozoa memiliki tahap kehidupan bolak-balik antara tahap proliferatif (misalnya trophozoites)
dan kista aktif. Seperti kista, protozoa dapat bertahan hidup kondisi
yang sulit, seperti terpapar ke suhu yang ekstrem dan bahan kimia
berbahaya, atau waktu lama tanpa akses terhadap nutrisi, air, atau
oksigen untuk jangka waktu tertentu. Menjadi spesies parasit kista
memungkinkan untuk bertahan hidup di luar tuan rumah, dan memungkinkan
mereka transmisi dari satu host ke yang lain. Ketika protozoa adalah
dalam bentuk trophozoites (Yunani, tropho = untuk memberi makan), mereka
secara aktif memberi makan dan tumbuh. Proses mana protozoa yang
mengambil bentuk kista disebut encystation, sedangkan proses
mentransformasikan kembali ke trophozoite disebut excystation.
Protozoa dapat mereproduksi dengan pembelahan biner atau beberapa
fisi. Beberapa protozoa bereproduksi secara seksual, beberapa aseksual,
sementara beberapa menggunakan kombinasi, (mis. Coccidia). Seorang
individu protozoon adalah hermaphroditic.
Nama lain untuk protozoa adalah Acrita (R. Owen, 1861). Mereka dapat menyebabkan malaria atau disentri amuba.
Kelas Berdasarkan Alat Gerak
Protozoa dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan alat gerak:
Rhizopoda (Sarcodina),alat geraknya berupa pseudopoda
(kaki semu) Bergerak dengan kaki semu (pseudopodia)yang merupakan
penjuluran protoplasma sel. Hidup di air tawar, air laut, tempat-tempat
basah, dan sebagian ada yang hidup dalam tubuh hewan atau manusia.Jenis
yang paling mudah diamati adalah Amoeba.Ektoamoeba adalah jenis Amoeba
yang hidup di luar tubuh organisme lain (hidup bebas), contohnya Ameoba
proteus, Foraminifera, Arcella, Radiolaria.Entamoeba adalah jenis Amoeba
yang hidup di dalam tubuh organisme, contohnya Entamoeba histolityca,
Entamoeba coli. [4]
- Amoeba proteus memiliki dua jenis vakuola yaitu vakuola makanan dan vakuola kontraktil.
- Entamoeba histolityca menyebabkan disentri amuba (bedakan dengan disentri basiler yang disebabkan Shigella dysentriae)
- Entamoeba gingivalis menyebabkan pembusukan makanan di dalam mulut radang gusi (Gingivitis)
- Foraminifera sp. fosilnya dapat dipergunakan sebagai petunjuk adanya minyak bumi. Tanah yang mengandung fosil fotaminifera disebut tanah globigerina.
- Radiolaria sp. endapan tanah yang mengandung hewan tersebut digunakan untuk bahan penggosok.
Flagellata (Mastigophora),alat geraknya berupa flagel
(bulu cambuk).Bergerak dengan flagel (bulu cambuk) yang digunakan juga
sebagai alat indera dan alat bantu untuk menangkap makanan.Dibedakan
menjadi 2 (dua), yaitu :
Fitoflagellata Flagellata autotrofik (berkloroplas), dapat
berfotosintesis. Contohnya : Euglena viridis, Noctiluca milliaris,
Volvox globator.Zooflagellata. [4]
Flagellata heterotrofik (Tidak berkloroplas).Contohnya : Trypanosoma gambiens, Leishmania Dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
- Golongan phytonagellata
- Euglena viridis (makhluk hidup peralihah antara protozoadengan ganggang) - Volvax globator (makhluh hidup peralihah antara protozoa dengan ganggang) - Noctiluca millaris (hidup di laut dan dapat mengeluarkan cahaya bila terkena rangsangan mekanik)
- Golongan Zooflagellata, contohnya :
- Trypanosoma gambiense & Trypanosoma rhodesiense. Menyebabkan penyakit tidur di Afrika dengan vektor (pembawa) Þ lalat Tsetse (Glossina sp.) Trypanosoma gambiense vektornya Glossina palpalis Þ tsetse sungai Trypanosoma rhodeslense vektornya Glossina morsitans Þ tsetse semak - Trypanosoma cruzl Þ penyakit chagas - Trypanosoma evansi Þ penyakit surra, pada hewan ternak(sapi). - Leishmaniadonovani Þ penyakit kalanzar - Trichomonas vaginalis Þ penyakit keputihan
Ciliata (Ciliophora),alat gerak berupa silia (rambut
getar). Anggota Ciliata ditandai dengan adanya silia (bulu getar) pada
suatu fase hidupnya, yang digunakan sebagai alat gerak dan mencari
makanan. Ukuran silia lebih pendek dari flagel.Memiliki 2 inti sel
(nukleus), yaitu makronukleus (inti besar) yang mengendalikan fungsi
hidup sehari-hari dengan cara mensisntesis RNA, juga penting untuk
reproduksi aseksual, dan mikronukleus (inti kecil) yang dipertukarkan
pada saat konjugasi untuk proses reproduksi seksual. Ditemukan vakuola
kontraktil yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan air dalam tubuhnya.
Banyak ditemukan hidup di laut maupun di air tawar. Contoh :
Paramaecium caudatum, Stentor, Didinium, Vorticella, Balantidium coli .[4]
- Paramaecium caudatum Þ disebut binatang sandal, yang memiliki dua jenis vakuola yaitu vakuola makanan dan vakuola kontraktil yang berfungsi untuk mengatur kesetimbangan tekanan osmosis (osmoregulator).
Memiliki dua jenis inti Þ Makronukleus dan Mikronukleus (inti reproduktif). Cara reproduksi, aseksual Þ membelah diri, seksual Þ konyugasi.
- Balantidium coli Þ menyebabkan penyakit diare.
Sporozoa,adalah protozoa yang tidak memiliki alat gerak. Cara
bergerak hewan ini dengan cara mengubah kedudukan tubuhnya. Pembiakan
secara vegetatif (aseksual) disebut juga Skizogoni dan secara generatif
(seksual) disebut Sporogoni.Marga yang berhubungan dengan kesehatan
manusia Þ Toxopinsma dan Plasmodium..
Tidak memiliki alat gerak khusus, menghasilkan spora (sporozoid)
sebagai cara perkembang biakannya. Sporozoid memiliki organel-organel kompleks
pada salah satu ujung (apex) selnya yang dikhususkan untuk menembus sel
dan jaringan inang.Hidupnya parasit pada manusia dan hewan.Contoh : Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae,Plasmodium vivax. Gregarina. [4]
Jenis-jenisnya antara lain:
- Plasmodiumfalciparum Þ malaria tropika Þ sporulasi tiap hari
- Plasmodium vivax Þ malaria tertiana Þ sporulasi tiap hari ke-3(48 jam)
- Plasmodium malariae Þ malaria knartana Þ sporulasi tiap hari ke-4 (72 jam)
- Plasmodiumovale Þ malaria ovale [5]
Referensi
- ^ a b c d http://id.shvoong.com/exact-sciences/biology/1618351-amoeba/
- ^ a b c d http://blog.unila.ac.id/wasetiawan/files/2010/01/PROTOZOA.pdf
- ^ http://gurungeblog.wordpress.com/2008/11/18/mengenal-protozoa/
- ^ a b c d http://www.duasociety.co.cc/2009/11/klasifikasi-protozoa.html
- ^ http://bebas.vlsm.org/v12/sponsor/Sponsor-Pendamping/Praweda/Biologi/0015%20Bio%201-4a.htm
Langganan:
Postingan (Atom)